Peran Pers dalam Mensukseskan Kepentingan Nasional

737 views
9 FEBRUARI 1946 organisasi insan pers pertama, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terbentuk dengan anggota yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia dan sekarang setiap Tanggal 9 Februari ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sejak tahun 1985. 

Ketetapan itu dikuatkan dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985 yang ditandatangani Presiden ke-2 Soeharto pada 23 Januari 1985. Tanggal 9 Februari 2016 kemarin kembali bangsa Indonesia memperingati tanggal tersebut sebagai Hari Pers Nasional (HPN) 2016 yang dilaksanakan di Pantai Mandalika, Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam sambutan Presiden Jokowi di acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2016 berharap Pers Indonesia bisa menjadi corong untuk menggerakkan dan membangun optimisme publik serta etos kerja masyarakat agar produktivitas masyarakat terjaga dengan baik.

Dunia jurnalistik di Indonesia juga sempat mengalami pasang surut. Dunia pers memang terus bertranformasi, terutama setelah internet menjamah peradaban manusia. Karya jurnalistik tak hanya bisa dibaca lewat surat kabar atau media cetak lainnya, tapi juga dibaca lewat berbagai perangkat elektronik canggih yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern.

Momentum HPN 2016 ini hendaknya tidak menuntut pers berperan sebagai lembaga pengawasan dan kontrol sosial di tengah masyarakat. Salah satu maknanya bagi kalangan pers dan bangsa Indonesia adalah tentang peran dan keberadaan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. 

Dengan payung hukum Undang-Undang Pers, publik berharap terwujudnya pers yang independen, bebas, bertanggungjawab, mandiri terbebas dari kooptasi kekuasaan/kapital dan intervensi penguasa ataupun pengusaha. Dalam hal ini kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 semakin terjamin.

Disamping itu Pers juga merupakan agen perubahan dan diharapkan menjadi role model dari gerakan revolusi mental. Tahun 2016 ini, pers berada di baris depan garda revolusi mental untuk mewujudkan kemajuan dari bangsa ini dan juga pers harus punya tanggung jawab moral untuk sukseskan pembangunan nasional dan mengamankan kepentingan nasional. 

Mengingat suksesnya kepentingan nasional dibutuhkan situasi yang kondusif yaitu faktor keamanan, untuk itu pers dapat mendukung dan memahami perlunya penguatan regulasi bidang keamanan seperti undang-undang terorisme yang sesuai dengan iklim demokrasi. 

Rendahnya penyaringan informasi publik tentu dapat berdampak buruk pada kestabilan ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan Indonesia itu sendiri. Dari sisi pertahanan dan keamanan peran pers ini fokusnya pada radikalisme, khususnya terorisme memang masih memiliki dasar hukum yang kurang tegas di Indonesia. 

Jika kemudian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan beberapa revisi terhadap undang-undang yang menaunginya, yakni UU No 15 tahun 2003, hal tersebut memang perlu segera ditinjau ulang. Dalam UU mengenai tindak pidana terorisme tersebut, terdapat empat hal yang belum tercakup pembahasan hukumnya. 

Hal pertama adalah mengenai penetapan pidana terhadap perbuatan yang mendukung aksi terorisme. Hal kedua adalah mengenai perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan. Sedangkan hal ketiga adalah mengenai masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme dan hal keempat adalah mengenai rehabilitasi pelaku terkait.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu supaya ada payung hukum bagi aparat untuk menindak pelaku teror serta menghentikan penyebaran paham kebencian termasuk menggunakan media massa. Media massa merupakan instrumen yang sangat efektif dalam melakukan kontra-propaganda terorisme, baik itu media cetak maupun elektronik. 

Namun, media justru mengalami hal dilematis dalam melakukan pemberitaan mengenai terorisme. Di satu sisi, media ingin melakukan pemberitaan realistis dan aktual. Akan tetapi di sisi lain, pemberitaan yang realistis juga terkadang dapat menimbulkan komplikasi baru.

Kebebasan dan kemerdekaan pers tidak terlepas dari etika dan norma yang berlaku. Maka kewenangan yang dimiliki pers itu bukan tanpa batas. Termasuk dalam pemberitaan tentang terorisme. Dalam konteks ini, penyiaran atau pemberitaan yang salah, keliru dan tidak tepat tentu akan kontraproduktif terhadap upaya menciptakan masyarakat yang damai.

Dalam konteks ini juga para insan pers tidak hanya bertugas memberikan informasi publik yang dikemas secara apik. Namun, insan pers juga harus mengambil peran dalam memberikan solusi alternatif atas kegaduhan yang terjadi di Tanah Air. Insan pers harus dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa saat ini kondisi ekonomi, sosial, politik, terutama pertahanan dan keamanan Indonesia dalam keadaan baik. Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas permasalahan yang terjadi. 

Untuk itu pers juga harus mendukung kondusivitas keamanan guna menjamin jalannya pembangunan nasional. Terjaminnnya kondusivitas keamanan diperlukan dukungan penguatan regulasi agar semua aparat keamanan mempunyai kewenangan secara profesional guna mencegah Ancaman, Tantangan, Hambatan, dam Gangguan (ATHG) oleh sebab itu dukungan peran pers dalam penguatan regulasi seperti UU terorisme yang juga memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi.   

Tentu harapannya dunia pers di Indonesia semakin baik menyajikan fakta di tengah kehidupan berdemokrasi yang makin matang. Semoga rekomendasi untuk meninjau undang-undang terkait dapat segera diperhatikan oleh pemerintah guna meningkatkan ketahanan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Pemerintah pun diharapkan terus menyebarkan sosialisasi hidup damai dan saling bertoleransi yang disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat. ***

*) Darmawan Priangga, Pengamat Media aktif pada Kajian Arus Media untuk Demokrasi.

Bagikan ke:

Posting Terkait