Unjuk Rasa KNPB cs tak Berarti Apa-apa

945 views
SANGAT disayangkan, ajakan KNPB dkk agar masyarakat Papua dan Papua Barat mengadakan unjuk rasa masih didengarkan oleh masyarakat Papua itu sendiri. Unjuk rasa itu terjadi di beberapa tempat antara lain di depan Gapura Universits Cendrawasih, Waena, di seberang jalan Expo Waena, di Lingkaran Abepura.  Di Mimika dipimpin seorang pendeta berunjuk rasa, dan di Timika 200 orang massa berunjuk rasa, menuntut dibebaskannya ketua KNPB Timika, Steven Itlay dan semua aktivis KNPB yang ditahan di Papua dan Papua Barat dan di Kabupaten Yahukimo dikoordinatori oleh Sengberd Pahabol, Ketua Umum KNPB.

Orasi KNPB dalam unjuk rasa tersebut berisi International Parliament for West Papua (IPWP) menyerukan seruan referendum secara global di London Inggris 3 Mei 2016, respon rakyat internasional, parlemen-parlemen Internasianal dan pemerintah negara-negara belahan dunia semakin hari semakin meningkat untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat bangsa West Papua dan mendukung ULWP menjadi anggota penuh pertemuan Melanesian Spearhed Group (MSG) di Port Moresby,PNG pada Juni 2016. Aksi KNPB di Yahukimo terinformasi diikuti Suku Yali, Suku Ngalik dan Suku Hubla, sedang Suku Kimiyal, Unaukam, Suku Mek dan Suku Momuna tidak ikut bergabung dalam aksi.

Sementara itu, tulisan salah satu “provocator di Papua” yang menilai kunjungan Presiden Jokowi bersama Menkopolhukam di Papua melakukan pertemuan kepala-kepala suku, ondoafi, Barisan Merah Putih dan orang Papua pro NKRI untuk mengatur taktik dan strategi untuk menghancukan perjuangan rakyat Papua dan menciptakan konflik horizontal dalam mengalihkan isu Papua merdeka ke isu SARA.

Selain itu, tulisan tersebut untuk mengalihkan isu Papua merdeka ke konflik SARA dan rasisme, beberapa taktik yang dipakai saat ini antara lain mengorganisir orang Papua pro merdeka melakukan aksi perlawanan terhadap sesama orang Papua yang menuntut hak politik, membakar bendera Bintang Fajar dan KNPB untuk memancing emosi rakyat pro merdeka, memprovokasi rakyat Papua untuk menolak KNPB dan ULMWP, membuat blog-blong atau website yang tidak jelas menyebarkan kebencian terhadap KNPB dan ULMWP, membuat baliho atau spanduk propaganda dengan menolak KNPB dan ULMWP serta menyebarkan spanduk memuat foto aktivis KNPB, BIN mengatur strategi pembunuhan orang Papua dengan metode atau motif tabrak lari dll.

Tidak Berarti Apa-Apa

Walaupun KNPB dan PNPB berhasil mengajak beberapa orang Papua untuk melakukan aksi, namun aksi unjuk rasa tersebut bukan merupakan bukti eksistensi KNPB dan PNPB di Papua ataupun bentuk dukungan masyarakat Papua kepada mereka, melainkan disebabkan karena Pemerintah Indonesia masih membuka ruang demokrasi di Papua, sehingga fakta ini membantah tudingan KNPB dan PNPB bahwa situasi politik di Papua semakin mencekam, karena tidak adanya ruang demokrasi.

Oleh karena itu, aksi tersebut tidak berarti apa-apa bagi masyarakat Papua, kecuali semakin menunjukkan bahwa demokratisasi di Papua semakin berkembang dan pemerintah masih mau mendengar aspirasi yang berkembang sepanjang dilakukan secara damai dan sopan.

Bergabung atau keikutsertaan masyarakat Papua dalam aksi unjuk rasa tersebut terjadi karena mereka kurang mendapatkan pencerahan dari pemerintah daerah dan seluruh aparat negara yang bertugas di Papua terkait KNPB, PNPB dll yang merupakan organisasi ilegal dan organisasi tanpa bentuk (OTB) yang hanya mampu menciptakan instabilitas keamanan di Papua. Akibat kurang sosialisasi, maka sebagian masyarakat Papua terkena propaganda KNPB Cs.

Mereka yang tergabung dalam unjuk rasa tersebut kebanyakan anak-anak sekolah, beberapa suku di pedalaman dan mereka yang kurang mendapatkan informasi yang cukup akibat infrastruktur informasi yang kurang memadai di Papua. Namun, keterlibatan pegawai di Kabupaten Yahukimo dalam unjuk rasa tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap administrasi pemerintahan, kode etik pegawai yang harus netral dari aktivitas politik dan pelanggaran terkait integritas mereka sebagai pegawai pemerintah yang harus setia kepada pemerintah, Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, keterlibatan pegawai di Kabupaten Yahukimo dalam aksi tersebut harus diberikan hukuman setimpal kepada mereka oleh pemerintah daerah setempat.

Tidak Ada Referendum

Ada beberapa tuntutan politik dan propaganda yang disampaikan dalam aksi unjuk rasa KNPB antara lain : dibebaskannya seluruh tahanan politik di Papua, mendukung ULMWP sebagai anggota penuh MSG dan menuntut pelaksanaan referendum untuk kemerdekaan Papua. Tuntutan politik ini tidak akan pernah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, karena pemerintah Indonesia tidak tunduk kepada mereka sedikitpun.

Tuntutan pembebasan tahanan politik di Papua sebenarnya sudah diberikan oleh pemerintahan Jokowi, namun upaya baik ini malah dipolitisasi oleh mereka. Oleh karena itu, para tapol akan mengikuti proses hukum yang berlaku dan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat Papua agar tidak bergabung dengan KNPB, IPWP, ULMWP, dll agar nasib mereka tidak menjadi tahanan politik.

Sementara tuntutan agar ULMWP menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam pertemuan bulan ini di PNG juga akan ditolak Indonesia disebabkan ULMWP adalah organisasi ilegal dan tidak mewakili masyarakat Papua. Keputusan MSG menjadikan ULMWP sebagai observer saja sudah merupakan kesalahan politik yang fatal, sehingga negara-negara MSG tidak akan membuat keputusan bodoh dengan menerima ULMWP sebagai anggota penuh mereka.

Sedangkan, tuntutan referendum di Papua yang dipolitisasi KNPB cs telah didukung parlemen Inggris pada 3 Mei 2016 adalah kebohongan politik terbesar KNPB kepada rakyat Papua. Hal ini dengan alasan unjuk rasa kelompok Papua Merdeka di London Inggris yang dilaksanakan di depan gedung parlemen Inggris bukan berarti mereka telah didukung Inggris, sama halnya jika unjuk rasa diadakan di depan Buckingham Palace misalnya juga akan dipolitisir Benny Wenda cs bahwa Ratu Inggris mendukung Papua Merdeka. Unjuk rasa di Inggris dapat dilakukan dimana saja, namun tidak berarti Kerajaan Inggris mendukung demonstran tersebut. ***
   
*) Satya Dewangga, pemerhati masalah Papua dan tidak setuju referendum di Papua. Tinggal di Karawang, Jawa Barat. Peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD) Jakarta.
Bagikan ke:

Posting Terkait