Ancaman Teror Belumlah Tamat

1062 views
PIMPINAN Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso, diduga tewas dalam baku tembak antara satu kelompok teroris dengan Satgas Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah. Sebagai salah satu kelompok teroris paling dicari di Indonesia, informasi dugaan tewasnya Santoso cukup menyita perhatian publik.

Santoso, alias Abu Wardah, diketahui sebagai tokoh yang diduga terlibat dalam sejumlah aksi penyerangan dan terorisme di Poso. Selain di Poso, Santoso diduga memiliki kaitan dengan sejumlah aksi terorisme di Solo, Bogor, Depok, hingga Tambora.

Padahal sebelumnya tak ada yang menyangka bahwa pria tersebut akan menjadi pemimpin gerakan terorisme di sejumlah daerah. Masyarakat di Dusun Bakti Agung, Desa Tambarana Trans, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, yang menjadi tempat tinggal Santoso dan keluarganya bahkan tak mempercayai bahwa Santoso yang mencari nafkah dengan berjualan buku keliling, sayur, buah-buahan dan terkadang menjadi buruh bangunan, bisa menjadi pemimpin aksi teror.

Nama Santoso mencuat setelah mendalangi peristiwa penembakan anggota polisi di kantor Bank BCA, Palu, pada 25 Mei 2011. Ustad Yasin yang pada saat itu tengah merintis pendirian Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di Poso melirik Santoso.

Pada Februari 2012, Ustad Yasin mengangkat Santoso menjadi Qoid (ketua) bidang Asykari JAT wilayah Poso, karena Santoso saat itu masih memiliki dan menyimpan senjata api serta amunisi. Pada akhir 2012 atau awal tahun 2013, Santoso bersama Daeng Koro mendeklarasikan berdirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Sejak itu mereka melakukan perekrutan dan pelatihan militer (tadrib asykari) yang dilaksanakan beberapa kali di wilayah Pegunungan Biru, Poso Pesisir.

Santoso kemudian memimpin sejumlah pelatihan militer (tadrib asykari) yang dilaksanakan beberapa kali di Pegunungan Biru, Poso Pesisir Kabupaten Poso dan di pegunungan Malino Kecamatan Soyojaya, Kabupaten Morowali. Para pesertanya berasal dari warga Poso, Morowali, Jawa, Kalimantan, Sumatera dan NTB.

Sejak Januari tahun ini Satuan Tugas Tinombala gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI berhasil mengepung Santoso alias Abu Wardah dan kelompoknya di Pegunungan Biru, Poso, Sulawesi Tengah. Satgas Tinombala juga berhasil memutus komunikasi antara Santoso dan kelompoknya dengan para simpatisan dan keluarganya. Karena semakin terdesak, beberapa orang pengikut Santoso pun akhirnya memilih turun gunung dan menyerah, sehingga kekuatan kelompok Santoso semakin melemah.

Pada tanggal 18 Juli, Terjadi baku tembak antara Satgas Tinombala dengan kelompok teroris di Pegunungan Sambarana, Poso. Dalam baku tembak itu, pimpinan MIT yang selama ini diburu, Santoso alias Abu Wardah diduga tewas tertembak. Peristiwa baku tembak itu terjadi sekitar pukul 17.00 WITA.

Tim Satgas Tinombala awalnya menemukan lima orang tak dikenal, yang terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan. Dua laki-laki terkena tembakan polisi, salah satunya diduga Santoso. Sementara 3 orang lain berhasil melarikan diri.


Setelah Santoso tamat, kepemimpinan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) akan diteruskan oleh orang kepercayaan Santoso antara lain Basri atau Ali Kalora. Dari 21 orang anggota MIT tersebut, terpecah menjadi dua kelompok. Lima orang di antarnya di bawah pimpinan Santoso dan Basri, sedangkan sisanya di bawah Ali Kalora, termasuk salah satunya etnis Uighur, diduga berada diwilayah Tamanjeka.

Ancaman Teror Belum Tamat

Dugaan kematian salah satu gembong teroris yang paling dicari di Indonesia, Santoso jelas merupakan kabar gembira bagi bangsa Indonesia, setidaknya karena beberapa alasan antara lain : pertama, kematiaan Santoso jelas menggambarkan bahwa TNI dan Polri dapat diandalkan dalam penanganan masalah ancaman teror.

Kedua, dugaan kematian Santoso jelas mempercepat target penangkapannya baik mati atau hidup yang direncanakan akan ditangkap paling lambat Agustus 2016, seperti yang pernah disampaikan mantan Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti. Ketiga, dugaan kematian Santoso juga secara tidak langsung akan menyadarkan masyarakat bahwa gerakan teror tidak akan berhasil untuk selamanya, karena teror yang identik dengan kekerasan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Meskipun demikian, dugaan kematian Santoso jelas belum akan meredupkan ancaman serangan teror di Indonesia, karena sel-sel organisasi teror tetap berkembang seiring dengan kemajuan zaman termasuk cara-cara teror juga akan berkembang setiap saat.

Bagaimanapun juga, kemampuan dan niat kelompok teror untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka dengan melakukan serangan secara random atau acak masih sangat tinggi. Dalam kasus MIT saja, kemungkinan yang menjadi pengganti Santoso alias Abu Wardah adalah Basri atau Ali Kalora, hal ini menggambarkan struktur dan kaderisasi kelompok teror belum tamat, walaupun pucuk pimpinannya sudah tewas.

Tidak hanya itu saja, kelompok teror di Indonesia dan di belahan dunia manapun tetap akan melaksanakan serangan dengan segala macam modus operandi, sepanjang mereka menilai dan menganalisis bahwa tatanan dunia saat ini belum sejalan dengan pemahaman ideologi mereka.

Jika Santoso tewas, kelompok teror dan sel-sel teror termasuk kalangan “lone wolf” diperkirakan akan melakukan aksi balas dendam atau serangan dengan alasan antara lain: pertama, kelompok teror tetap akan menunjukkan eksistensinya pasca kematian Santoso, dengan melakukan serangan termasuk kemungkinan serangan ke dalam kota.Jika ini terjadi, TNI dan Polri jelas akan mudah untuk mengatasinya. Kedua, sisa-sisa anggota MIT tetap akan menyerang atau menyergap anggota Satgas Tinombala yang melakukan patroli, sehingga kewaspadaan saat patroli harus ditingkatkan oleh anggota Satgas Tinombala.

Ketiga, kemungkinan anggota MIT akan meneror masyarakat dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap korban penculikan. Keempat, sel-sel teror di daerah lain yang berafiliasi dengan MIT akan melakukan balas dendam di daerahnya masing-masing. Kelima, sisa anggota MIT tidak melakukan aksi balasan, melainkan mereka akan berkonsolidasi dan ketiga TNI dan Polri lengah, maka mereka akan melakukan “sudden death attack”. ***

*) Datuak Tjumano, pemerhati masalah Polkam. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Bagikan ke:

Posting Terkait