Demokrasi di Indonesia tak Pernah Dibungkam

978 views
ALIANSI Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Surabaya dan Front Mahasiswa Nasional (FMN) menggelar konfrensi pers di asrama mahasiswa Papua Jalan Kalasan No. 10 Surabaya belum lama ini.

Dalam konferensi pers tersebut, ada beberapa hal yang penting yang dituntut oleh dua organisasi mahasiswa ini, terutama berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum yang terus dibungkam oleh institusi Kepolisian serta tindakan tidak menusiawi seperti kriminalisasi dan kekerasan terhadap rakyat.

Persoalan mengenai pembungkaman demokrasi semakin menunjukkan derajat keterpurukkan pada prakteknya di Indonesia. Pembungkaman ini mewujud ke dalam beberapa hal, seperti kasus kekerasan; pelarangan hak berpendapat, berekspresi, dan berorganisasi; kriminalisasi; bahkan tak jarang berbuntut pada kematian. Beragam bukti pun terpapar.

Menurut catatan AMP dan FMN, di Jogjakarta tanggal 14 Juli 2016 saat Aliansi Mahasiswa Papua hendak melakukan aksi damai. Pelarangan aksi termanifestasikan melalui olok-olok beraroma rasis, penahanan, hingga pemblokiran jalan di area Asrama Papua yang berada di Jalan Kusumanegara Yogyakarta, sehingga banyak dari mereka kelaparan akibat tidak bisa melakukan aktivitas apapun.

Tidak hanya itu, kriminalisasi juga terjadi di luar sektor mahasiswa, bahkan puluhan hingga ratusan aktivis jamak dilakukan pihak aparat sebagai alat represifitas negara. Kondisi darurat demokrasi melalui serentetan pembungkaman kebebasan berserikat, berekspresi dan mengemukakan pendapat dialami pula oleh banyak aktivis.

Selanjutnya, tanggal 22 Juli 2016 juga telah terjadi penangkapan 4 orang aktivis dan ditetapkan sebagai tersangka. Darurat demokrsi pun terjadi di bumi Papua, semua gerakan/aktivitas pembukaman ruang demokrasi dan penangkapan aktivis LSM, dan aktivis mahasiswa, dan semua gerakan sipil yang mau melakukan protes terhadap ketidakadilan demokrasi di Papua. Praktek kekerasan dan pembungkaman ruang demokrasi yang terjadi belakangan ini di Papua sangat kompleks.

Solidaritas Untuk Papua (SUP) menyatakan sikap: Hentikan tindakan represivitas terhadap gerakan rakyat, hentikan kriminalisasi dan bebaskan aktivis gerakan rakyat, hentikan kekerasan terhadap aktivis gerakan rakyat, hentikan diskriminasi rasial terhadap gerakan rakyat. Tangkap, hukum dan adili pelaku kekerasan terhadap aktivis, hentikan pembungkaman terhadap ruang demokrasi di Indonesia Buka ruang demokrasi seluas-luas nya di Indonesia.

Penilaian Aktivis yang salah kaprah

Siaran pers yang disampaikan AMP dan FMN sangat terkesan bombastis dan tendensius bahkan merupakan penilaian yang salah kaprah, karena sejak era reformasi bergulir, kebebasan berdemokrasi di Indonesia sangat berkembang bahkan banyak kalangan yang menilai demokrasi di Indonesia sekarang ini sudah kebablasan.
   
Sangat disayangkan sikap politik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang cenderung berkiblat atau mendukung OPM atau Gerapan Separatis Papua (GSP), padahal tidak sedikit mahasiswa yang tergabung dalam AMP adalah mereka yang mendapatkan beasiswa dari pemda Papua yang notabene uangnya adalah APBN, sehingga seharusnya kesempatan mendapatkan beasiswa tersebut harus digunakan untuk belajar yang bermanfaat bagi rakyat Papua, bukan belajar memprovokasi dan mengagitasi masyarakat Papua.
   
Sebagai komunitas intelektual, seharusnya AMP perlu mengadakan check, recheck and crosscheck terhadap fakta-fakta yang ditampilkan dalam materi jumpa pers, agar AMP tidak kehilangan kredibilitasnya. Jangan sampai fakta-fakta tersebut merupakan pengalaman aktivis AMP dalam berunjuk rasa yang menurut mereka sudah dilakukan secara benar, namun sejatinya materi atau substansi unjuk rasa dan cara mereka berunjuk rasa bertentangan atau menabrak hukum positif yang ada di Indonesia.
   
Menurut hasil crosscheck penulis ke berbagai kalangan, aksi unjuk rasa AMP pada 14 Juli 2016 dilakukan dalam rangka mereka mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang diharapkan dapat diterima sebagai anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) pada KTT MSG di Honiara, Fiji pada tanggal yang sama dengan aksi unjuk rasa AMP di Yogya dan daerah lainnya. Kenyataanya, keanggotaan ULMWP ditolak MSG bahkan penulis yakin pada pertemuan pada September 2016, MSG tetap akan menolak ULMWP karena sejatinya MSG mencintai Indonesia dibandingkan ULMWP.
   
Kalau kemudian beberapa Ormas di Yogyakarta, termasuk Gubernur DIY meminta agar semangat separatisme tidak ditumbuhkan di Yogyakarta pada hakekatnya adalah pernyataan dan tindakan yang benar, dan hal ini tidak benar jika dikategorikan sebagai pembungkaman demokrasi, karena demokrasi sejati dan sehat adalah demokrasi yang memperkuat nasionalisme dan rasa kebangsaan. Disamping itu, dimanapun juga penyuaran semangat separatisme melalui jalur demokrasi jelas diharamkan.

Beragam unjuk rasa mahasiswa yang terjadi di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta yang disuarakan organisasi mahasiswa yang mempersoalkan aksi pembungkaman demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat serta pemberitaan yang dinilai mereka tidak berimbang, sebenarnya adalah aksi mencari sensasi dan pengaruh politik, dengan mengungkap isu-isu atau permasalahan yang sebenarnya sudah tidak up to date lagi.

Meskipun demikian, tantangan bagi pemerintahan Jokowi saat ini adalah bagaimana meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan serta pelaksanaan pembangunan, hanya melalui pendekatan kesejahteraan dan humanis, maka permasalahan di Papua dan daerah rentan konflik lainnya dapat diatasi. ***

*) Wildan Nasution, pemerhati masalah Papua. Tinggal ke Batam, Kepri
Bagikan ke:

Posting Terkait