KEBAKARAN hutan dan lahan (Karhutla) pada Juni hingga Oktober 2015 memakan kerugian finansial hingga Rp221 triliun. Jumlah tersebut di luar penghitungan kerugian sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya. Kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian serupa di 1997 di mana Karhutla merugikan negara hingga Rp60 triliun.
Seperti diketahui, pada periode tersebut terjadi Karhutla kompak di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Penyebabnya yakni kesengajaan membakat, pembukaan lahan baru oleh sebagian masyarakat, buruknya pengelolaan ekosistem rawa gambut, musim kemarau panjang akibat El Nino serta lemahnya pengawasan.
Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam Konferensi Pers Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi Bencana 2016 pekan ini, akhir Desember 2015 lalu menyebutkan, kerugian ini setara dengan 1,5 persen Produk Domestik Bruto nasional, artinya Karhutla menghambat laju pembangunan.
Untuk menanggulanginya, BNPB mengeluarkan Rp720 miliar untuk pemadaman kebakaran. Biaya tersebut di luar dari dana yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) dan Kementerian Kesehatan.
Upaya yang telah dilakukan BNPB antara lain menurunkan bom air dengan 17 helikopter dan tiga fix wing. Lebih dari 22 ribu personel pusat dan daerah terbangun dalam upaya pemadaman darat. Seiring dengan itu, dilakukan penegakkan hukum terhadap dalang pembakar hutan serta perbaikan struktural dan non struktural.
Dampak kebakaran hutan, lanjut dia, terdata 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), 60 juta jiwa terpapar asap dan sebanyak 2,61 juta hektare hutan dan lahan terbakar.
Dari 2,61 juta hektare lahan yang terbakar, terdapat 33 persen yang menimpa lahan gambut alias seluas 869.754 hektare. Sementara kebakaran di tanah mineral seluas 1.741.657 hektare atau 67 persennya.
Banyak faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut, seperti contohnya yang paling sering terjadi adalah akibat dari musim kemarau dan akibat aktivitas manusia seperti membuang puntung rokok yang menyala secara sembarangan sampai aktivitas perburuan babi hutan yang menggunakan bom sebagai penjebak.
Kebakaran hutan menimbulkan banyak dampak merugikan baik dari segi ekologi hingga ekonomi. Pertama, hilang dan rusaknya habitat satwa liar. Hutan dan lahan gambut di Indonesia memiliki beragam satwa liar yang hidup didalamnya. Beberapa wilayah hutan di Indonesia juga merupakan kawasan Taman Nasional yang juga merupakan habitat asli dan penting bagi sejumlah spesies yang dilindungi seperti bekantan, beruang madu, owa-owa, Harimau dahan hingga orang utan.
Kebakaran hutan dan lahan gambut mengakibatkan dampak negatif langsung bagi satwa-satwa tersebut sehingga statusnya kini terancam punah. Hutan dan lahan gambut yang terbakar juga tidak akan bisa dipulihkan seperti sedia kala, karena butuh ratusan tahun untuk mendapatkan besar pohon serta keanekaragaman hayati yang biasa terdapat alami di hutan tropis.
Kedua, meningkatkan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Lahan gambut dan hutan yang secara alami merupakan tempat untuk menyerap gas CO2 bebas berlebih yang terdapat di atmosfer, memiliki peran penting dalam mengendalikan perubahan iklim.
Apabila lahan gambut dan hutan terbakar maka justru akan melepaskan karbon dan emisi gas lainnya ke udara sehingga berkontribusi dalam pemanasan global yang kini terjadi di seluruh belahan dunia. Ketiga, mengganggu kesehatan manusia
Kebakaran hutan dan lahan gambut menyebabkan polusi udara dan berdampak langsung bagi masyarakat yang tinggal disekitar wilayah hutan baik yang dekat ataupun yang tinggal puluhan kilometer dari lokasi kebakaran. Asap yang ditimbulkan dapat tersebar lebih dari puluhan kilometer. Seperti kebakaran hutan riau lalu yang mengakibatkan meningkatnya jumlah korban akibat ISPA (infeksi saluran pernapasan) dan total masyarakat yang terpapar partikel asap mencapai lebih dari 55 ribu jiwa dan puluhan sekolah terpaksa diliburkan sepekan lebih.
Keempat adalah merugikan negara secara ekonomi. Akibat asap yang mengganggu wilayah sekitar lokasi hutan, banyak aktivitas manusia yang terganggu hingga terpaksa berhenti mulai dari sekolah hingga perdagangan. Oleh karena itu juga berdampak buruk pada perputaran ekonomi di wilayah sekitar, sehingga mengalami kerugian. Selain ekonomi, asap yang sampai ke wilayah negara tetangga juga dapat berakibat buruk bagi hubungan bilateral Indonesia.
Mengingat dampak buruk yang ditimbulkan akibat terbakarnya hutan dan lahan gambut, dan Mengingat urgensi penanganan pada kawasan kritis ini, WWF Indonesia mengadakan crowdfunding bertajuk #SOSSebangau #HijaukanHutan.
Proyek ini dikhususkan untuk pemulihan dan antisipasi kebakaran di Taman Nasional Sebangau, mengingat Taman Nasional ini merupakan habitat asli dan penting bagi sejumlah spesies yang dilindungi khususnya orang utan, karena kawasan Taman Nasional ini merupakan habitat orang utan tertinggi di pulau Kalimantan dengan jumlah populasi orang utan sebanyak 6000 hingga 9000 populasi.
Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk kebutuhan patroli kebakaran hutan dengan memfasilitasi kawasan tersebut dengan beberapa peralatan seperti pompa air portable, alat pemadam kebakaran manual, tangki air, alat komunikasi bagi armada patroli dan kebutuhan armada lainnya dalam patroli tersebut.
Dengan diadakannya program ini, WWF Indonesia mengharapkan masyarakat secara umum bisa sadar dan peduli tehadap kondisi hutan dan lahan gambut sehingga dapat meminimalisi terjadinya kebakaran hutan yang semakin parah.
Penulis mengutip lontar.ui.ac.id, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui besar dampak ekonomi dan sosial yang timbul akibat kebakaran hutan dan mengidentifikasi jalur jalur utama pengaruh kebakaran hutan pengaruh kebakaran hutan di Indonesia terhadap output, faktor produksi dan institusi (rumah tangga, perusahaan dan pemerintah).
Penelitian ini menggunakan metoda penghitungan SNSE atau social accounting matrix (SAM) untuk menghitung nilai penurunan pendapatan (economic loss) dan structural path analysis (SPA) untuk menjelaskan jalur keterkaitan antar sektor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap hektar areal hutan yang terbakar di Indonesia menumbulkan dampak berupa penurunan pendapatan total sebesar Rp269 juta. Secara sosial rumah tangga adalah kelompok institusi yang mengalami penurunan pendapatan paling besar di banding pemerintah dan di sektor perusahaan.
Penurusan terbesar dalam output terjadi pada kegiatan di sektor kehutanan, industri dan perdaganan. Pada kelompok faktor produksi tenaga kerja pertanian di pedesaan mengalami kerugian paling besar di alami
sektor seasta dalam negeri.
Secara struktual ada jalur keterkaitan yang erat antara sektor kehutanan dengan sektor sektor yang berbasiskan pertanian di pedesaan. Besaran nilai dampak ekonomi dan sosial akibat kebakaran hutan yang dihasilkan oleh peneliutian ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan besaran ganti rugi minimun yang dikenakan kepad pelaku penyebab kebakaran hutan dan sebagai acuan dalam perencanaan alokasi anggaran baik untuk pemerintah maupun perusahaan untuk pengendalian kebakaran hutan.
Ketika kita melihat persoalan di atas. Diharapkan kepada seluruh komponen masyarakat memikirkan akibat dari kebakaran hutan yang terjadi di Tanah Air ini, bukan lagi memikirkan yang telah terjadi.
Sudah seharusnya melakukan pencegahan agar kebakaran hutan dan gambut tidak lagi terjadi di wilayah masing-masing. Hal ini dibutuhkan keseriusan serta komitmen dari seluruh stakeholder yang ada sehingga kebakaran hutan dan kebakaran lahan gambut tidak lagi terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tentunya salah satu upaya yang dilakukan adalah membuka lahan tanpa bakar. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pasal 26 mengamanatkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/ atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi ling kungan hidup.
Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang keras untuk melakukan pembukaan lahan denga cara membakar, dalam pasal 48 ayat 1 telah menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Dan ayat 2 menyatakan jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Pelaksanaan pembukaan lahan tanpa bakar wajib dilaksanakan setiap pelaku usaha perkebunan. Pelaksanaan pembukaan lahan tanpa bakar untuk pengembangan usaha perkebunan disesuaikan dengan kondisi vegetasi yang akan dibuka, yang dapat berupa areal vegetasi tumbuhan kayu, peremajaan kebun, semak belukar, dan lahan gambut.
Pembukaan lahan APL berupa hutan dengan sistem manual dapat dilaksanakan dengan urutan, yakni membuat rintisan, mengimas, menebang, merencek, membuat pancang kepala/jalur tanam, dan membersihkan jalur tanam. Andai hal ini dilakukan, diyakini kebakaran hutan dan lahan gambut tidak akan lagi terjadi.
Persoalan kebakaran hutan dan lahan, seyogyanya diiringi dengan penegakan hukum yang sebenarnya. Putusan hukum kepada pembakar hutan dan lahan sebagai bagian dari efek jera kepada masyarakat ataupun koorporasi yang bertindak sebagai pelaku.
Namun apa yang kebanyakan terjadi. Pelaku yang notabenenya masyarakatlah yang ampuh terhadap hukum. Sementara koorporasi yang jelas-jelas melakukan pelanggaran sama sekali tidak tersentuh hukum. Jikapun ada barangkali hitungan jari.
Jika kita berkomitmen untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan, sepatutnyalah hukum kepada masyarakat dan perusahaan tidak dibedakan. Jangan hanya masyarakat saja yang dihukum, perusahaan yang membakar lahan pun harus dihukum sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di negara ini. Janganlah hukum ‘takut’ kepada perusahaan tapi berani kepada masyarakat. ***
*) Amril Jambak, peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)