AKHIR-akhir ini, ketika menonton atau membaca berita di media cetak dan elektronik, saya selalu dihadapkan pada perdebatan yang justru membuat saya bertanya-tanya kembali apa itu kepemimpinan.
Perdebatan yang saya maksud tersebut adalah dalam konteks penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tahun 2017. Meski pelaksanaannya masih menyisakan sepuluh bulan, tetapi aroma persaingan antar pihak-pihak yang berkepentingan sudah mulai terasa saat ini.
Setiap kelompok ataupun individu menjadi sangat kritis menyampaikan pandangannya tentang figur kepemimpinan yang ideal untuk daerah A, B, dan C dan seterusnya. Sebagai contoh adalah DKI Jakarta yang juga akan menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2017 mendatang.
Aroma persaingan dan perdebatan, atau mungkin bisa dibilang saling ‘sindir’ pada pemilihan gubernur di wilayah ibukota tersebut menjadi bahan perbincangan yang entah bagaimana awalnya kemudian menjadi topik di berbagai media.
Kita sebut saja saling lempar pernyataan antara bakal calon incumbentBasuki Tjahaja Purnama atau Ahok beserta pendukungnya dengan elit lain yang mungkin akan menjadi penantangnya atau pendukung bakal calon penantang.
Di satu sisi banyak pihak yang menyatakan pemimpin yang cocok untuk karakter masyarakat Indonesia adalah pemimpin yang sopan, penuh tata krama, dan tidak temperamen. Di sisi lain, beberapa menyebut bahwa pemimpin yang dibutuhkan Indonesia, terutama untuk provinsi DKI Jakarta, untuk bisa bangkit dari segenap persoalan yang kompleks adalah pemimpin yang tegas, keras, dan berani menghadapi persoalan dan resiko.
Saya dan mungkin beberapa masyarakat awam lainnya justru semakin bertanya-tanya kembali tentang perang argumen di media ini. Bukankah memang pemimpin itu harus keras dan tegas? Bukankah juga pemimpin itu harus bisa menjadi pengayom yang menyejukkan warganya dengan tata sikap dan perilakunya?
Lalu dimanakah peran masyarakat untuk melahirkan figur pemimpin yang benar-benar sesuai dengan suasana batin masyarakat Indonesia di era demokrasi ini?
Membaca Figur Pemimpin: Gadjah Mada
Di tengah krisis multidimensi yang terjadi di era transisi ini, alangkah baiknya bagi kita untuk melihat kembali ke belakang berkaca pada bagaimana pemimpin besar yang pernah jaya di Nusantara. Salah satu yang tersohor adalah mahapatih Gadjah Mada dari Majapahit.
Gadjah Mada dikenal banyak kalangan dengan Sumpah Palapa-nya ketika dilantik menjadi maha patih. Visinya untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit menjadikan Ia sosok yang tangguh. Dan akhirnya, ia adalah seorang perdana menteri yang tidak hanya menjadikan Majapahit sebagai salah satu kekuatan di Asia Tenggara, tetapi juga mewariskan prinsip-prinsip kenegaraan dan kepemimpinan yang juga patut untuk diteladani.
Dalam buku Misteri Gadjah Mada (2009) yang ditulis oleh Purwadi diceritakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang perdana menteri, Gadjah Mada memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang jika saya klasifikasikan memuat dimensi etis, estetis, dan dimensi patriotis.
Dimensi etis meliputi keseluruhan sikap yang merupakan manifestasi keyakinan spiritualnya dan menjadi well being sebagai manusia yang diwujudkan dalam nilai-nilai moral-spiritual dalam kepemimpinannya.
Beberapa konsep dimensi etis kepemimpinan Gadjah Mada antara lain sikap wijaya yang berarti sikap tenang dan bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan.
Sarjawa upasama bahwa pemimpin haruslah rendah diri dan tidak menyombongkan apapun yang ia miliki. Prasajayang berarti pemimpin haruslah mengutamakan prinsip kesederhanaan namun bukan berarti kikir. Masihi SamastaBuwanamenunjukkan sikap bahwa pemimpin tidak hanya bisa menjaga diri tetapi juga lingkungan alamnya dan wajib menjaga harmoni antara manusia dan alam semesta.
Selain sikap yang menunjukkan kerendahan, ada kalanya pemimpin haruslah memiliki sikap tegas dan keras. Sikap mantriwira menunjukkan bahwa pemimpin haruslah berani dalam membela kebenaran tanpa ada tekanan dari pihak manapun.
Dan yang tak kalah penting adalah konsep sumantriyang selalu menunjukkan keras dan tegasnya seorang pemimpin untuk selalu menegakkan kejujuran dan kewibawaannya sehingga ia layak untuk dihormati dan dicintai rakyatnya.
Dimensi kedua adalah dimensi estetis. Dimensi estetis ini adalah pengejawantahan dimensi etis dalam praktik keseharian dan hubungannya dengan individu lain dengan berbagai latar belakang sosial. Dengan kecakapan dan kepribadiannya, Gadjah Mada mampu mengeksternalisasikan nilai-nilai moral-spiritualnya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas dalam praktik kepemimpinannya.
Wicaksaneng Naya adalah salah satu keterampilan politik yang menjadi kunci sukses Gadjah Mada. Maksudnya seorang pemimpin haruslah pandai berdiplomasi dan mengatur strategi dalam mengambil ataupun melaksanakan kebijakan. Untuk itu dibutuhkan pula sikap wagmiwak yakni kemampuan untuk bertutur kata dengan menjunjung tinggi etika dan estetika yang dibarengi dengan sikap dibyacitayang artinya mau menerima pendapat orang lain, baik atasan maupun bawahannya.
Dimensi praktis kepemimpinan Gadjah Mada ini juga tercermin dari sikap-sikapnya dalam menghadapi kesulitan, terutama dari musuh-musuhnya. Nayaken musuh merupakan sikap pemimpin yang harus selalu bisa menguasai musuhnya, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tentu sikap ini harus diikuti dengan natangguanyakni pemimpin harus meyakinkan rakyatnya untuk selalu mendapatkan kepercayaan dan dukungan. Dengan inilah sinergitas antara pemimpin dan yang dipimpin dapat terjadi untuk mencapai kemajuan bersama.
Yang terakhir adalah dimensi patriotis. Dimensi ini menunjukkan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negara. Meskipun memiliki wewenang yang luas, namun Gadjah Mada menunjukkan sikapnya sebagai negarawan yang dengan kata lain bahwa kesejatian dimensi etis dan estetis dari sikap kepemimpinannya ada pada baktinya untuk negeri.
Negara gineng pratijna adalah dasar pengabdian Gadjah Mada yang bermakna bahwa seorang pemimpin itu harus senantiasa mementingkan kepentingan negara dengan cara ambek parama art yakni bisa menentukan skala prioritas untuk kepentingan umum, tan satrisna yang berarti pemimpin tidak boleh pilih kasih dalam segala kebijakannya, serta satya bhakti prabuyaitu loyalitas untuk kepentingan yang lebih tinggi.
Menuju Kepemimpinan Indonesia Yang Beretika, Berestetika, dan Patriotik.
Beberapa konsep tentang kepemimpinan Gadjah Mada di atas adalah satu dari sekian banyak teladan kepemimpinan di Nusantara yang harus kita munculkan kembali. Seperti halnya Gadjah Mada di Jawa, di tiap daerah di Indonesia tentu memiliki cerita dan catatan-catatan tentang pemimpin mereka terdahulu.
Maksud saya menghadirkan kembali cerita tentang kejayaan Nusantara ini bukan untuk menciptakan belenggu romantisme masa lalu. Alih-alih, sistem demokrasi yang kita pahami saat ini cenderung mempersempit pemahaman tentang apa itu pemimpin dan kepemimpinan.
Tatkala para elit politik disibukkan dengan hiruk pikuk pemilihan umum dengan sistem one man-one vote, mereka lupa bahwa pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini untuk keluar dari tekanan dan perosalan multidimensi haruslah memiliki karakter yang menyeluruh.
Jika ditarik pada kasus perdebatan pemimpin yang cocok untuk memimpin DKI Jakarta, maka pemimpin yang harusnya memimpin ibukota adalah pemimpin yang sopan dan bertata krama tetapi keras menghadapi tindak penyelewengan baik yang dilakukan oleh aparat maupun masyarakat. Keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Jika keduanya dipisah maka akan terjadi ketimpangan.
Pemimpin yang hanya berbekal kesopanan dan tata krama akan mudah terjebak pada sikap permisif yang dikhawatirkan terlalu toleran pada berbagai bentuk penyelewengan. Namun jika hanya berbekal keberanian dan ketegasan justru berpotensi menjadi pemimpin yang terlalu angkuh.
Tentu dasar dari kapan pemimpin itu harus santun dan harus keras terletak pada sikap patriotiknya yang mengedepankan kepentingan publik untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Oleh karenanya ketiganya harus dan wajib dimiliki oleh siapapun yang berkeinginan maju untuk menjadi pemimpin, baik di tingkat daerah maupun di pusat.
Kita sebagai masyarakat Indonesia tentu memiliki andil besar dalam menciptakan kepemimpinan yang berkarakter untuk Indonesia ke depannya. Sikap apatis terhadap momen regenerasi kepemimpinan bukanlah solusi. Justru dengan proaktif terhadap proses menuju dan saat transisi kepemimpinan inilah kita dapat memahami dan menentukan pemimpin yang tepat dan sesuai dengan nuansa dan khasanah masyarakat kita.
Melalui partisipasi terhadap proses transisi kepemimpinan di era demokrasi ini maka masyarakat menjadi penentu ‘seleksi alam’ figur pemimpin yang ideal untuk Indonesia kedepannya.
Tak sampai disitu, peran serta masyarakat untuk aktif dan terlibat dalam pelaksanaan program-program pemerintah sebenarnya menjadi pintu masuk bagi kita untuk menyeleksi siapa dan bagaimana pemimpin yang kita butuhkan dilihat dari norma, sistem nilai, dan kepentingan bersama dalam kehidupan keseharian kita. ***
*) Linggar Rama Dian Putra, pengamat sosial budaya