MASSA aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), menolak keras kedatangan Menkopolhukam ke Papua dalam penyelesaian pelanggaran HAM, melalui aksi demo damai yang berlangsung, Rabu (15/4/2016). Penolakan itu sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Papua atas tidak selesainya permasalahan pelanggaran HAM di tanah Papua. Dimana, kasus pelanggaran HAM di Papua hanya dijadikan sebagai komoditi politik dan mencari jabatan.
Pantauan di lapangan, tampak aktifis KNPB dan juga Forum Independen Mahasiswa (FIM) Papua, BEM USTJ, BEM Uncen, dan BEM Yapis serta gempar berkumpul diberbagai titik Kota Jayapura diantaranya, Ekspo-Waena, Perumnas III, Lingkaran Abe, Yapis dan Taman Imbi Jayapura. Massa yang dipimpin Bazoka datang untuk menyampaikan aspirasi kepada Anggota DPR Papua atas penolakkan kedatangan Menkopolhukam dan rombongan, penolakkan tim bentukan Menkopolhukam atas dugaan pelanggaran HAM di Papua, serta mendukung ULMWP masuk MSG.
Namun massa langsung dihadang oleh aparat kepolisian Polda Papua dan Polres Jayapura Kota beserta jajarannya, untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju Gedung Putih DPR Papua. Lantaran, diduga aksi demo dari aktifis KNPB tersebut bertentangan dengan aturan negara.
Para aktifis KNPB terpaksa menduduki kawasan jalan raya lampu merah Abepura, dengan pengawalan ketat dari aparat kepolian. Aksi itupun, membuat sejumlah pertokoan di wilayah Abepura terpaksa ditutup. Tak hanya itu, aktifitas seluruh masyarakat Kota Jayapura terganggu akibat aksi demo yang dilakukan aktifis KNPB. Bahkan, ruas jalan menuju Kota Jayapura-Waena macet hingga malam.
Dalam pernyataan sikap KNPB yang disampaikan Bazoka selaku koordinator lapangan menyatakan, pertama rakyat Papua menolak dengan tegas tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan kolonial Indonesia orang Papua seperti Marinus Yaung, Matius Murib, Lien Maloali. Kedua, lanjut Bazoka, ULMWP mendesak segera untuk mengirim tim atau pengawasan internasional terhadap suara West Papua (Referendum) untuk membentuk nasib sendiri. Ketiga, mendesak tim pencari fakta dari Pasific Island (Pif) segera ke Papua. Keempat, mendesak semua aktifis HAM, agama, korban dan seluruh rakyat Papua untuk tidak terlibat, serta menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menkopolhukam RI.
Sementara itu, demo aktifitis KNPB bersama seluruh komunitas masyarakat Papua yang berasal dari Dok VII, VIII,IX menduduki kawasan Taman Imbi Jayapura. Namun pihak kepolisian melarang massa masuk ke halaman kantor DPR Papua, hingga menutup dan menjaga semua pintu masuk. Demonstran yang dikoordinir Asius Ayemi akhirnya memutuskan berorasi di taman Imbi. Dimana dalam orasinya menyampaikan, bahwa penghadangan aksi demo dari pihak kepolisian merupakan catatan dan pelajaran politik bagi rakyat Papua.
Menurutnya, pihaknya menolak kedatangan Meko Polhukam, Luhut Panjaitan ke Papua. Selain itu masalah HAM Papua harus diselesaikan di luar kepentingan politik Indonesia. “Tak mungkin negara mengadili negara. Sejak indonesia menganeksasi Papua Barat pada 1963, dan sampai kapan pun tak ada jimanan hidup kepeda bangsa Papua. Indonesia hanya butuh butuh kekayaan alam Papua, bukan orang asli Papua,” ucapnya.
Ia menegaskan, sesungguhnya Indonesia di Papua tidak butuh sandiwara politik melalui tim terpadu penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat bentukan Menko Polhukam. “Kami menolak tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan Indonesia yang melibatkan Marinus Yaung, Matius Murib dan Lien Molowali,” tukasnya.
Alasan penolakkan, menurut Assius, mereka ini tidak punya kapasitas menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. “Kami mendesak penentuan nasib sendiri. Mendesak tim pencari fakta Forum Island Pasifik segera ke Papua. Mendesak aktivis HAM, agama korban dan seluruh rakyat Papua menolak tim bentukan Menkopolhukam RI,” katanya.
Dalam orasi yang dilakukan kordinator lapangan, diungkapkan, KNPB dengan tegas menolak penyelesaian pelanggaran HAM di Papua
oleh pejabat Jakarta, dalam hal ini Menkopolhukam. Sambil menunggu kelompok massa dari Waena, massa KNPB yang berkumpul melakukan wayta. Dalam spanduk yang dibentangkan, KNPB minta agar anggotanya dibebaskan menyusul tertangkapnya 65 aktivis KNPB dan mahasiswa di Sentani dan Nabire.
Tidak Masuk Akal
Empat tuntutan yang disampaikan KNPB jelas tidak masuk akal, bersifat separatis dan berbau adanya subversi asing. Tuntutan menolak dengan tegas tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan kolonial Indonesia orang Papua seperti Marinus Yaung, Matius Murib, Lien Maloali, jelas menunjukkan KNPB arogan dan sepertinya merasa pintar sendiri serta merendahkan tokoh-tokoh Papua yang telah dipercaya pemerintah pusat. Penggunaan kata “kolonial” dalam tuntutan KNPB menunjukkan aktivis jalanan dari organisasi ilegal ini kurang memahami sejarah Papua. Indonesia tidak pernah menganeksasi Papua. Integrasi Papua ke NKRI melalui Pepera tahun 1969 sudah sah secara internasional dan konstitusi nasional.
Tuntutan kedua, ULMWP mendesak segera untuk mengirim tim atau pengawasan internasional terhadap suara West Papua (Referendum) untuk membentuk nasib sendiri. Jelas menunjukkan tuntutan yang berbau separatis dan kurang memahami perpolitikan internasional, sebab intervensi asing terhadap wilayah sah sebuah negara adalah pelanggaran hukum yang berat, dan Indonesia akan mempertahankan Papua dengan segala macam cara menghadapi intervensi asing.
Sama dengan tuntutan kedua, maka tuntutan ketiga KNPB yaitu mendesak tim pencari fakta dari Pasific Island (Pif) segera ke Papua, jelas tidak masuk akal dan semakin menunjukkan KNPB bukan mewakili rakyat Papua, melainkan antek asing dari kelompok subversi asing dari PIF ataupun negara lainnya.
Tuntutan keempat KNPB yaitu mendesak semua aktifis HAM, agama, korban dan seluruh rakyat Papua untuk tidak terlibat, serta menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menkopolhukam RI, jelas tidak perlu didengarkan rakyat Papua, selain karena aktivis KNPB bukan tokoh agama, bukan tokoh adat dan bukan tokoh pemuda yang disegani di Papua, melainkan hanya “gerombolan politik” yang pekerjaan utamanya selalu menciptakan kehebohan politik (political furor) saja di Papua.
Last but not least, ULMWP tidak akan pernah menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), karena Indonesia akan melakukan perlawanan diplomatik untuk mencegahnya. Papua tetap akan menjadi provinsi milik Indonesia, tidak akan pernah menjadi sebuah negara seperti “mimpi siang bolong” KNPB. ***
*) Datuak Tjumano, peneliti muda dalam bidang masalah daerah-daerah konflik dan dinamika komunikasi massa di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta.
Pantauan di lapangan, tampak aktifis KNPB dan juga Forum Independen Mahasiswa (FIM) Papua, BEM USTJ, BEM Uncen, dan BEM Yapis serta gempar berkumpul diberbagai titik Kota Jayapura diantaranya, Ekspo-Waena, Perumnas III, Lingkaran Abe, Yapis dan Taman Imbi Jayapura. Massa yang dipimpin Bazoka datang untuk menyampaikan aspirasi kepada Anggota DPR Papua atas penolakkan kedatangan Menkopolhukam dan rombongan, penolakkan tim bentukan Menkopolhukam atas dugaan pelanggaran HAM di Papua, serta mendukung ULMWP masuk MSG.
Namun massa langsung dihadang oleh aparat kepolisian Polda Papua dan Polres Jayapura Kota beserta jajarannya, untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju Gedung Putih DPR Papua. Lantaran, diduga aksi demo dari aktifis KNPB tersebut bertentangan dengan aturan negara.
Para aktifis KNPB terpaksa menduduki kawasan jalan raya lampu merah Abepura, dengan pengawalan ketat dari aparat kepolian. Aksi itupun, membuat sejumlah pertokoan di wilayah Abepura terpaksa ditutup. Tak hanya itu, aktifitas seluruh masyarakat Kota Jayapura terganggu akibat aksi demo yang dilakukan aktifis KNPB. Bahkan, ruas jalan menuju Kota Jayapura-Waena macet hingga malam.
Dalam pernyataan sikap KNPB yang disampaikan Bazoka selaku koordinator lapangan menyatakan, pertama rakyat Papua menolak dengan tegas tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan kolonial Indonesia orang Papua seperti Marinus Yaung, Matius Murib, Lien Maloali. Kedua, lanjut Bazoka, ULMWP mendesak segera untuk mengirim tim atau pengawasan internasional terhadap suara West Papua (Referendum) untuk membentuk nasib sendiri. Ketiga, mendesak tim pencari fakta dari Pasific Island (Pif) segera ke Papua. Keempat, mendesak semua aktifis HAM, agama, korban dan seluruh rakyat Papua untuk tidak terlibat, serta menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menkopolhukam RI.
Sementara itu, demo aktifitis KNPB bersama seluruh komunitas masyarakat Papua yang berasal dari Dok VII, VIII,IX menduduki kawasan Taman Imbi Jayapura. Namun pihak kepolisian melarang massa masuk ke halaman kantor DPR Papua, hingga menutup dan menjaga semua pintu masuk. Demonstran yang dikoordinir Asius Ayemi akhirnya memutuskan berorasi di taman Imbi. Dimana dalam orasinya menyampaikan, bahwa penghadangan aksi demo dari pihak kepolisian merupakan catatan dan pelajaran politik bagi rakyat Papua.
Menurutnya, pihaknya menolak kedatangan Meko Polhukam, Luhut Panjaitan ke Papua. Selain itu masalah HAM Papua harus diselesaikan di luar kepentingan politik Indonesia. “Tak mungkin negara mengadili negara. Sejak indonesia menganeksasi Papua Barat pada 1963, dan sampai kapan pun tak ada jimanan hidup kepeda bangsa Papua. Indonesia hanya butuh butuh kekayaan alam Papua, bukan orang asli Papua,” ucapnya.
Ia menegaskan, sesungguhnya Indonesia di Papua tidak butuh sandiwara politik melalui tim terpadu penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat bentukan Menko Polhukam. “Kami menolak tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan Indonesia yang melibatkan Marinus Yaung, Matius Murib dan Lien Molowali,” tukasnya.
Alasan penolakkan, menurut Assius, mereka ini tidak punya kapasitas menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. “Kami mendesak penentuan nasib sendiri. Mendesak tim pencari fakta Forum Island Pasifik segera ke Papua. Mendesak aktivis HAM, agama korban dan seluruh rakyat Papua menolak tim bentukan Menkopolhukam RI,” katanya.
Dalam orasi yang dilakukan kordinator lapangan, diungkapkan, KNPB dengan tegas menolak penyelesaian pelanggaran HAM di Papua
oleh pejabat Jakarta, dalam hal ini Menkopolhukam. Sambil menunggu kelompok massa dari Waena, massa KNPB yang berkumpul melakukan wayta. Dalam spanduk yang dibentangkan, KNPB minta agar anggotanya dibebaskan menyusul tertangkapnya 65 aktivis KNPB dan mahasiswa di Sentani dan Nabire.
Tidak Masuk Akal
Empat tuntutan yang disampaikan KNPB jelas tidak masuk akal, bersifat separatis dan berbau adanya subversi asing. Tuntutan menolak dengan tegas tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan kolonial Indonesia orang Papua seperti Marinus Yaung, Matius Murib, Lien Maloali, jelas menunjukkan KNPB arogan dan sepertinya merasa pintar sendiri serta merendahkan tokoh-tokoh Papua yang telah dipercaya pemerintah pusat. Penggunaan kata “kolonial” dalam tuntutan KNPB menunjukkan aktivis jalanan dari organisasi ilegal ini kurang memahami sejarah Papua. Indonesia tidak pernah menganeksasi Papua. Integrasi Papua ke NKRI melalui Pepera tahun 1969 sudah sah secara internasional dan konstitusi nasional.
Tuntutan kedua, ULMWP mendesak segera untuk mengirim tim atau pengawasan internasional terhadap suara West Papua (Referendum) untuk membentuk nasib sendiri. Jelas menunjukkan tuntutan yang berbau separatis dan kurang memahami perpolitikan internasional, sebab intervensi asing terhadap wilayah sah sebuah negara adalah pelanggaran hukum yang berat, dan Indonesia akan mempertahankan Papua dengan segala macam cara menghadapi intervensi asing.
Sama dengan tuntutan kedua, maka tuntutan ketiga KNPB yaitu mendesak tim pencari fakta dari Pasific Island (Pif) segera ke Papua, jelas tidak masuk akal dan semakin menunjukkan KNPB bukan mewakili rakyat Papua, melainkan antek asing dari kelompok subversi asing dari PIF ataupun negara lainnya.
Tuntutan keempat KNPB yaitu mendesak semua aktifis HAM, agama, korban dan seluruh rakyat Papua untuk tidak terlibat, serta menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menkopolhukam RI, jelas tidak perlu didengarkan rakyat Papua, selain karena aktivis KNPB bukan tokoh agama, bukan tokoh adat dan bukan tokoh pemuda yang disegani di Papua, melainkan hanya “gerombolan politik” yang pekerjaan utamanya selalu menciptakan kehebohan politik (political furor) saja di Papua.
Last but not least, ULMWP tidak akan pernah menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), karena Indonesia akan melakukan perlawanan diplomatik untuk mencegahnya. Papua tetap akan menjadi provinsi milik Indonesia, tidak akan pernah menjadi sebuah negara seperti “mimpi siang bolong” KNPB. ***
*) Datuak Tjumano, peneliti muda dalam bidang masalah daerah-daerah konflik dan dinamika komunikasi massa di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta.