Intoleransi Cukup di Tanjung Balai

788 views
MASYARAKAT dan pemerintah Indonesia kaget, pada Jumat 29 Juli 2016, tengah malam terjadi kerusuhan yang bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara.  Sumatera Utara yang lebih dikenal dengan keberagamannya ternoda dengan masalah ini.

Namun permasalahan di Tanjung Balai sebenarnya dalam enam tahun terakhir ibarat api dalam sekam, umat mayoritas dengan umat minoritas khususnya etnis Tionghoa, sudah ada indikasi tidak saling menjaga toleransi, hal ini karena umat minoritas dengan segala kelebihan finansialnya secara demonstratif membuat rumah ibadah secara megah.

Hidup berdampingan antar umat beragama di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang sulit diwujudkan. Perbedaan agama bukanlah kendala untuk menjalin hubungan sosial yang produktif. Negara Indonesia terkenal akan toleransi dan keberagamannya. Kasus Tanjung Balai ini bagian kecil dari kasus intoleransi.

Kasus ini luput mendapat perhatian dari semua pihak terkait walaupun ada indikasi akan terjadi konflik. Sebenarnya hubungan antar umat beragama sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kepercayaan sosial  yang terbangun di antara individu warga dan antar kelompok  masyarakat di suatu tempat. Kasus kerusuhan yang terjadi  sebagai contoh tidak ada lagi kepercayaan diantara individu dan kelompok masyarakat terhadap etnis tertentu.      
           
Pada kasus kerusuhan di Tanjung Balai ini, tidak lain karena hubungan sosial antara orang Islam pribumi dan orang Tionghoa non muslim di Tanjung Balai sedang dalam ketegangan sejak beberapa tahun silam.  Ibarat api dalam sekam sedkit dikipas langsung menyala.

Kronologisnya seorang Tionghoa bernama Meliana (dikutip dari berbagai sumber) penganut Budha di Kota Tanjung Balai yang merasa terganggu dengan ‘Toa Masjid Al Maksum” yang begitu keras ketika waktu azan, tadarus dan suara kaset mengaji. Sebenarnya banyak umat Muslim setempat juga merasa terganggu, namun karena yang komplain sesama muslim maka tidak ada tindakan yang membuat kerusuhan.

Ketika seorang dari minoritas komplain atas suara di masjid maka masuklah provokator yang pastinya menginginkan Tanjung Balai tidak kondusif memberitakan di media sosial, hal-hal yang membuat umat muslim di Tanjung Balai marah. Suasana di Tanjung Balai selama enam tahun terakhir memang agak terusik ditandai ketika patung Buddha di Wihara Tri Ratna yang didirikan umat Budha sejak tahun 2010 diprotes warga muslim setempat untuk diturunkan.

Umat Islam memandang bahwa Wihara Tri Ratna dengan Patung Budhanya setinggi 6 meter menjadi simbol Tanjung Balai menjadi Kota Budha. Umat Buddha tidak menerima tuntutan itu walaupun mengalami tekanan demi tekanan. Dari situlah permasalahan keberagaman di Tanjung Balai menjadi tidak kondusif, yang akhirnya terjadi kerusuhan yang menyebabkan beberapa vihara dan  kelenteng di bakar, beberapa yayasan sosial dirusak  serta ditahannya orang-orang yang dianggap melakukan kerusuhan tersebut.
          
Sebenarnya, kepercayaan sosial antar-kelompok agama telah tumbuh berkembang di bumi Nusantara sejak berabad-abad lampau. Di Provinsi Banten, misalnya, masih terdapat warisan toleransi agama yang dibangun pada abad ke-17. Di Desa Pamarican, Kabupaten Serang, berdiri Wihara Avalokitesvara yang terletak tidak jauh dari Masjid Agung Banten.

Wihara itu dibangun tahun 1652 oleh Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati untuk menghormati rombongan istrinya, Putri Ong Tin Nio, dari China. Hingga kini pun, meski letaknya berdekatan  tidak pernah terjadi keributan antar umat beragama. Seharusnya ini menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
            
Pengakuan kemajemukan harus diikuti oleh sikap menghormati dan menciptakan kehidupan bersama yang setara. Tanpa penghormatan dan kesetaraan, mustahil kelompok-kelompok yang berbeda akan bisa hidup berdampingan. Relasi antar umat beragama memerlukan kepercayaan sosial, karena perbedaan agama seringkali menimbulkan prasangka yang dapat membuat konflik.

Kepercayaan sosial mampu mengikis benih prasangka tersebut. Untuk menciptakan kondisi toleran dalam masyarakat majemuk diperlukan kebijakan yang memberikan tempat pada pengakuan kemajemukan dan perlakuan yang setara pada kelompok – kelompok yang berbeda.  
 
Masih terjadinya, intoleransi dalam keberagaman di masyarakat antara lain disebabkan   kondisi masyarakat yang menempatkan kepentingan pribadi dan kelompoknya/golongannya daripada kepentingan bangsa dan negara. Banyak kelompok saat ini berlomba-lomba memenangkan kekuasaan untuk diri sendiri dan kelompoknya. Hal itu tercermin dari banyaknya korupsi, pembiaran terhadap munculnya sektarianisme dan pengabaian kelompok-kelompok marjinal. Jika dikaitkan dengan Pancasila, yang ada sekarang dinilai cenderung mengarah pada sikap-sikap yang tidak Pancasilais.

Nilai-nilai seperti keadilan sosial, persatuan dan nasionalisme, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta musyawarah untuk mufakat yang dulu digali oleh para pendiri bangsa sedikit demi sedikit mulai tergerus. Pancasila semakin terasa terpinggirkan.

Semua manusia berasal dari dalam keluarga. Manusia mengawali hari-hari hidupnya di dalam keluarga. Bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi  yang dewasa. Proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam keluarga sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya sejak dini.

Pendidikan pertama dan utama yang diperolehnya yakni melalui sikap hidup, perilaku dan tutur kata orang tua, atau anggota keluarga lain yang lebih dewasa. Keluarga sebagai pusat dimulainya kehidupan memiliki peran sentral dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Masa depan seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman hidupnya dalam keluarga. Kalau seseorang bertumbuh dalam keluarga yang menanamkan benih-benih saling menghormati, saling menerima dan saling mencintai, maka ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang sangat menghormati pada sesama.

Sedangkan, kalau seseorang yang bertumbuh dalam keluarga yang diwarnai oleh kekerasan, kebencian, dan sifat-sifat jelek lainnya, maka ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang pemarah, pendendam dan tidak menerima segala perbedaan atas keberagaman.
 
Peran orangtua sebagai pendidik utama harus mengarahkan anak-anak untuk menghormati keberagaman dan toleransi. Anak-anak perlu diberikan pembelajaran tentang pentingnya memberikan diri untuk sesama, membantu sesama dan menghargai perbedaan.

Orangtua perlu melatih kepekaan anak-anak dengan memberikan contoh dan teladan hidup yang baik, bukan sebaliknya justru memberikan indoktrinasi yang keliru dalam melihat dan memperlakukan sesama yang berbeda.  Bahwa setiap adat, budaya dan agama mengandung nilai-nilai hidup baik yang patut dihormati dan diterima sebagai anugerah dari sang Pencipta.
             
Manusia harus mendapatkan kembali haknya untuk hidup aman dan damai dalam komunitasnya. Menerima keberagaman dan memelihara toleransi harus bermuara pada penghormatan terhadap martabat manusia. Bahwa manusia, apa pun latar belakang adat, budaya dan agama harus diterima dan dihormati sebagaimana adanya manusia itu, tanpa diskriminasi.  

Namun demikian khususnya di Tanjung Balai Sumatera Utara, perlu ada perasaan menghargai, menghormati dan saling tengga,  semua agama. Kelompok yang mampu secara materi diharapkan tidak perlu melakukan dan mempertontonkan kemampuannya membangun bangunan rumah ibadah secara megah jauh melebihi keperluan yang sesungguhnya dalam ibadah sehingga menimbulkan kegundahan dan perlawanan pada kelompok yang mayoritas. Kelompok mayoritas apabila ada protes yang tidak sesuai dengan hati dan perasaannya, menghadapinya harus dengan kepala dingin bukan dengan kekerasan yang akhirnya dapat merugikan semuanya. ***
 
*) Ahmad Sarkasi, S.Sos, pemerhati masalah Sosial

Posting Terkait