Jakarta – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dikenal sebagai tokoh perdamaian Indonesia karena pernah mendamaikan beberapa konflik di tanah air. JK pun punya pandangan sendiri soal konflik-konflik yang terjadi di Indonesia.
JK mengatakan, ada dua jenis konflik, yakni horizontal dan vertikal. Konflik horizontal yakni yang terjadi antara masyarakat dengn hukum atau negara. Sedangkan vertikal yakni konflik yang terjadi antar masyarakat.
“Saya sering mengukur konflik yang besar itu kalau korban yang tewas lebih dari 1.000 orang. Saya mencatat itu sekitar 15 kali konflik itu terjadi (di Indonesia), mulai RMS, GAM di Aceh, Permesta, DI TII, Papua, Timtim, semuanya ada 15 kali yang korbannya mencapai ribuan orang,” kata JK saat memberikan kuliah bagi peserta program pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri di Istana Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (29/8/2016).
JK menilai, konflik berskala besar yang terjadi di Indonesia, di antaranya kerusuhan di Ambon, Poso, konflik antara suku Dayak dengan Madura di Kalimantan dan tragedi Mei '98.
“Itu konflik antara masyarakat dengan masyarakat. Tentu itu melawan hukum, tapi antara masyarakat dengan masyarakat,” kata JK.
Sementara itu, konflik berskala kecil juga kerap terjadi. Seperti kerusuhan di Tanjung Balai Karimun beberapa waktu lalu. “Yang seperti itu puluhan terjadi di negara kita. Tentu kepolisian harus mengatasi itu. Lebih baik dicegah daripada mengatasi,” katanya.
Sementara itu, konflik vertikal yang terjadi di Indonesia, dari belasan kejadian, hanya ada satu yang bisa diselesaikan lewat dialog, yakni konflik GAM di Aceh. Untuk konflik horizontal, ada dua yang diselesaikan lewat perdamaian, yakni kerusuhan di Poso dan Ambon.
“Yang lain diselesaikan dengan operasi militer, tentu ini akan semakin banyak menimbulkan korban,” kata JK.
Lalu, apa sebenarnya pemicu konflik di Indonesia?
JK menjelaskan, pemicu utamanya karena tak adanya keadilan. Rasa ketidakadilan ini diikuti oleh perbedaan ideologi dan separatisme.
“Sewaktu kasus PKI di Madiun dan DI/TII, ada rasa ketidakadilan. Kemudian Permesta merasa tidak mendapat pembangunan yang sama, lalu marah dan berontak. GAM juga demikian, berasal dari daerah yang kaya, mampu, tapi (daerahnya) yang bukan Aceh. Sama juga dengan Papua,” katanya.
“Jadi, apabila kita ingin menjaga negeri ini dengan baik, maka yang paling utama adalah keadilan dan kesejahteraannya harus kita ciptakan,” tambah JK.
Kemudian kenapa konflik itu mudah membesar?
JK menjelaskan, faktor pendorong membesarnya konflik yakni jika melibatkan Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA).
“Karena jika melibatkan unsur keagamaan, maka kemudian tidak ada orang yang netral, semua berpihak dan orang mudah untuk masuk. Memobilisir dengan dasar agama. DI/TII itu awalnya hanya kekecewaan, tapi supaya melibatkan banyak orang, masuk ke agama,” kata JK.
“Begitu juga dengan di Poso dan Ambon, itu bukan masalah agama, itu bukan masalah agama, tapi masalah demokrasi yang tiba-tiba. Dulu di sana seimbang, kalau gubernur Islam, maka wakilnya Kristen, atau sebaliknya. Itu hilang. Terjadilah konflik politik. Tapi karena politik tidak banyak menimbulkan soliditas, maka masukklah agama. Maka terjadilah perang agama,” tambah JK.
detikcom