RENCANA pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan untuk tidak membui dan hanya melepas jabatan para terpidana korupsi serta membayar denda yang telah ditentukan memang menimbulkan berbagai macam pendapat yang berbeda.
Polemik terjadi terutama di lingkungan masyarakat, berbagai pendapat timbul dari mulai pendapat positif hingga pendapat yang negatif yang seolah-olah mengerdilkan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi.
Saat ini berbagai pihak mempertanyakan apa sebenarnya pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah. Mengapa bukan tindak pidana lain yang mendapatkan keringanan ini? Kenapa justru tindak pidana yang mencerminkan dan menurunkan derajat pemerintahan negara yang mengalami perubahan didalam peraturan perundang-undangan?
Memang dengan melakukan kebijakan ini, banyak masyarakat yang khawatir akan berkurangnya rasa jera dan rasa malu yang dimiliki oleh para koruptor. Mereka justru akan berbondong – bondong dan berhasrat untuk mengambil uang negara.
Dilihat dari berbagai sisi, memang rencana pemberlakuan denda dan pencopotan jabatan terhadap para koruptor justru hanya akan meningkatkan keinginan para koruptor untuk menambah pundi-pundi hartanya.
Memang dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), pada enam bulan pertama awal tahun ini terjadi 325 kasus korupsi yang telah merugikan negara sebesar Rp1,49 Triliun dan para pelakunya hanya dihukum selama 25 bulan penjara saja. Data yang dikeluarkan ini menjadi tolak ukur masyarakat untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang akan diberlakukan terhadap para pelaku korupsi.
Walaupun terdapat pandangan dan statemen negatif dari berbagai lini masyarakat, kita juga tidak dapat mengelak bahwa sistem Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang ada di Indonesia terutama di beberapa kota besar tempat para koruptor ditahan pun sangat lemah.
Kelemahan yang terjadi di lapas di Indonesia ini terjadi karena ada oknum-oknum yang menjadi pengkhianat yang justru memanjakan para tahanan yang ada didalam lapas tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tetap adanya pelanggaran hukum seperti kasus Narkoba, kasus penganiayaan, dan kasus perlakuan khusus yang diberikan terhadap para koruptor yang ada didalam lapas tersebut.
Seperti yang telah banyak orang ketahui dan temukan banyak beredar foto – foto yang menunjukkan kemewahan yang dimiliki oleh para koruptor dibalik jeruji besi, bukannya terpidana tersebut menjalani masa hukuman dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan terpidana lain, tapi justru para koruptor mendapatkan perlakuan perlakuan khusus didalam penjara.
Perlakuan khusus itu dimulai dari spring bed, TV, mesin pembuat kopi, dan bahkan pintu sel tidak ditutup untuk memudahkan akses untuk para koruptor. Para terpidana korupsi yang ditahan pun bagaikan tinggal di sebuah hotel berbintang dengan para sipir yang menjadi pelayannya. Hal ini memang cukup memprihatinkan dan harus menjadi evaluasi serta perhatian dari semua pihak terutama pengelola lapas dan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Tidak hanya sel tahanan yang ditempati oleh para koruptor saja yang terlilihat seperti hotel berbintang lima. Dengan memanfaatkan uang yang dimilkinya, koruptor dalam hal ini dapat membeli kebebasan didalam lapas tersebut. Kebebasan tersebut dapat berupa makanan yang berbeda dengan Narapidana lain, atau bahkan keluar lapas untuk menghirup udara segar dan kemudian kembali lagi masuk ke dalam selnya.
Dengan pertimbangan permasalahan suap – menyuap dan perlakuan khusus yang didapatkan oleh para koruptor inilah, mengapa pemerintah menginginkan adanya revisi didalam undang-undang.
Dengan melihat beberapa kasus yang terjadi di dalam lapas yang ada di Indonesia ini, semestinya masyarakat secara bersama – sama membantu dan mendukung pemerintah demi mewujudkan sistem hukum yang lebih baik. Sehingga tidak lagi terdapat sipir atau aparat hukum yang berada di dalam lapas yang justru memanfaatkan kesempatan didalam sebuah kesempitan. Situasi inilah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan didalam sebuah lembaga pemasyarakatan.
Penerapan hukuman pencopotan jabatan dan denda diharapkan akan menjadi alternatif sanksi yang lebih baik untuk diberikan terhadap para koruptor. Alasannya sederhana, karena penyimpangan yang terjadi di dalam lapas yang dilakukan aparat dan terpidana akan terminimalisir.
Selain itu, dengan adanya denda atau ganti rugi yang harus dibayarkan oleh para koruptor, maka uang tersebut dapat diterima dan dijadikan sebagai suntikan dana kepada negara. Sehingga uang tersebut dapat digunakan untuk suatu hal yang lebih bermanfaat. Seperti membangun sarana prasarana umum hingga peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat luas. ***
*) Dodik Prasetyo, kontributor LSISI dan pengamat sosial
Polemik terjadi terutama di lingkungan masyarakat, berbagai pendapat timbul dari mulai pendapat positif hingga pendapat yang negatif yang seolah-olah mengerdilkan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi.
Saat ini berbagai pihak mempertanyakan apa sebenarnya pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah. Mengapa bukan tindak pidana lain yang mendapatkan keringanan ini? Kenapa justru tindak pidana yang mencerminkan dan menurunkan derajat pemerintahan negara yang mengalami perubahan didalam peraturan perundang-undangan?
Memang dengan melakukan kebijakan ini, banyak masyarakat yang khawatir akan berkurangnya rasa jera dan rasa malu yang dimiliki oleh para koruptor. Mereka justru akan berbondong – bondong dan berhasrat untuk mengambil uang negara.
Dilihat dari berbagai sisi, memang rencana pemberlakuan denda dan pencopotan jabatan terhadap para koruptor justru hanya akan meningkatkan keinginan para koruptor untuk menambah pundi-pundi hartanya.
Memang dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), pada enam bulan pertama awal tahun ini terjadi 325 kasus korupsi yang telah merugikan negara sebesar Rp1,49 Triliun dan para pelakunya hanya dihukum selama 25 bulan penjara saja. Data yang dikeluarkan ini menjadi tolak ukur masyarakat untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang akan diberlakukan terhadap para pelaku korupsi.
Walaupun terdapat pandangan dan statemen negatif dari berbagai lini masyarakat, kita juga tidak dapat mengelak bahwa sistem Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang ada di Indonesia terutama di beberapa kota besar tempat para koruptor ditahan pun sangat lemah.
Kelemahan yang terjadi di lapas di Indonesia ini terjadi karena ada oknum-oknum yang menjadi pengkhianat yang justru memanjakan para tahanan yang ada didalam lapas tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tetap adanya pelanggaran hukum seperti kasus Narkoba, kasus penganiayaan, dan kasus perlakuan khusus yang diberikan terhadap para koruptor yang ada didalam lapas tersebut.
Seperti yang telah banyak orang ketahui dan temukan banyak beredar foto – foto yang menunjukkan kemewahan yang dimiliki oleh para koruptor dibalik jeruji besi, bukannya terpidana tersebut menjalani masa hukuman dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan terpidana lain, tapi justru para koruptor mendapatkan perlakuan perlakuan khusus didalam penjara.
Perlakuan khusus itu dimulai dari spring bed, TV, mesin pembuat kopi, dan bahkan pintu sel tidak ditutup untuk memudahkan akses untuk para koruptor. Para terpidana korupsi yang ditahan pun bagaikan tinggal di sebuah hotel berbintang dengan para sipir yang menjadi pelayannya. Hal ini memang cukup memprihatinkan dan harus menjadi evaluasi serta perhatian dari semua pihak terutama pengelola lapas dan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Tidak hanya sel tahanan yang ditempati oleh para koruptor saja yang terlilihat seperti hotel berbintang lima. Dengan memanfaatkan uang yang dimilkinya, koruptor dalam hal ini dapat membeli kebebasan didalam lapas tersebut. Kebebasan tersebut dapat berupa makanan yang berbeda dengan Narapidana lain, atau bahkan keluar lapas untuk menghirup udara segar dan kemudian kembali lagi masuk ke dalam selnya.
Dengan pertimbangan permasalahan suap – menyuap dan perlakuan khusus yang didapatkan oleh para koruptor inilah, mengapa pemerintah menginginkan adanya revisi didalam undang-undang.
Dengan melihat beberapa kasus yang terjadi di dalam lapas yang ada di Indonesia ini, semestinya masyarakat secara bersama – sama membantu dan mendukung pemerintah demi mewujudkan sistem hukum yang lebih baik. Sehingga tidak lagi terdapat sipir atau aparat hukum yang berada di dalam lapas yang justru memanfaatkan kesempatan didalam sebuah kesempitan. Situasi inilah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan didalam sebuah lembaga pemasyarakatan.
Penerapan hukuman pencopotan jabatan dan denda diharapkan akan menjadi alternatif sanksi yang lebih baik untuk diberikan terhadap para koruptor. Alasannya sederhana, karena penyimpangan yang terjadi di dalam lapas yang dilakukan aparat dan terpidana akan terminimalisir.
Selain itu, dengan adanya denda atau ganti rugi yang harus dibayarkan oleh para koruptor, maka uang tersebut dapat diterima dan dijadikan sebagai suntikan dana kepada negara. Sehingga uang tersebut dapat digunakan untuk suatu hal yang lebih bermanfaat. Seperti membangun sarana prasarana umum hingga peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat luas. ***
*) Dodik Prasetyo, kontributor LSISI dan pengamat sosial