TEROR, teror, dan teror. Abu Wardah alias Santoso akhirnya tewas. Baku tembak yang terjadi antara aparat dan kelompok teroris di Poso menewaskan dua orang dari kelompok tersebut. Belakangan, dipastikan salah satunya merupakan gembong teroris jaringan internasional, Santoso alias Abu Wardah.
Tentu saja dengan tewasnya gembong teroris ini diharapkan pemberantasan terorisme di Indonesia akan lebih efektif dan khususnya kondisi di wilayah Poso akan jauh lebih baik.
Nah, terorisme itu apa sih? Terorisme adalah puncak dari aksi kekerasan yang fungsinya untuk mengintimidasi, memengaruhi kebijakan pemerintah, memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan. Namun, korban dari tindakan teroris seringkali orang yang tidak bersalah.
Tindakan-tindakan yang memiliki elemen teroris adalah kekerasan, tujuan politik, dan teror. Pada intinya terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria.
Jauh sebelum Santoso lahir, terorisme sudah dikenal. Pada zaman Yunani kuno, sejarawan Xenofon (431-350SM) pernah menulis tentang perang psikologis yang efektif melawan musuh. Sementara, Kaisar Roma, Tiberius (14-37M) dan Kaligula (37-41) telah memakai pengasingan, penyitaan hak milik, dan eksekusi sebagai sarana menebar ketakutan bagi lawan yang melawan titah mereka.
Secara sistematis, terorisme muncul pada abad 19. Istilah ini semula menunjukkan tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Lebih lanjut, di Rusia, terorisme dikenal sebagai istilah untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah.
Terorisme kini telah menjadi bahaya laten. Matinya Santoso tetap tidak memutus mata rantai teror. Teror tetap saja subur. Pelaku adalah perpanjangan tangan teror. Ketakutan sebagai akibat sebenarnya pun sudah ada sebagai gejala psikis. Pelaku teror dengan suka rela menjadi perpanjangan tangan teror dan menjadi teroris dengan “iming-iming” yang tidak logis, hanya demi teror semata.
Siapa yang bisa memberantas terorisme? Jawabannya adalah kita. Kitalah sebagai penerus bangsa Indonesia yang mampu ikut serta dalam pemberantasan terorisme.
Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengajak dan ikut berfikir sejenak, apakah dengan ikut melakukan teror kita bisa disebut sebagai manusia yang berjihad? Hanya kita sebagai rekan, adik, kakak, saudara, sahabat terdekat yang bisa mengajak mereka yang memiliki kecenderungan untuk menyimpang agar tidak berpihak kepada para pelaku teror.
Pada dasarnya bagi sebagian masyarakat Indonesia yang tergabung dalam kegiatan teror adalah mereka yang memiliki pandangan bahwa teror merupakan salah satu jalan menuju jihad.
Jihad? Apakah membunuh mereka yang tidak bersalah demi mewujudkan tujuan sebuah organisasi ini yang disebut dengan jihad? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad diartikan sebagai usaha dengan segala upaya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Allah (Islam) dan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga.
Apakah membunuh merupakan segala usaha untuk mencapai kebaikan? Apakah meneror merupakan usaha sungguh-sungguh membela agama Allah? Apakah kegiatan-kegiatan tersebut mencerminkan salah satu dari arti jihad yang sesungguhnya? Tentu saja tidak, tidak satupun kegiatan tersebut mencerminkan bentuk dari jihad.
Dalam QS. al- Ankabut (29): 8 dan QS. Lukman (31): 15. Terjemahannya:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,.QS. Lukman (31): 15.
Jihad tidak hanya dipahami dalam arti perjuangan pisik atau perlawanan bersenjata, tetapi lebih jauh daripada itu merupakan perjuangan melawan dan memerangi hawa nafsu dan kebodohan. Jihad juga berarti ujian yaitu ujian bagi kualitas seseorang.
Sejalan dengan itu al-Asfhahany menyebutkan bentuk-bentuk jihad, yang antara lain adalah jihad terhadap orang-orang kafir, munafik, zhalim, jihad terhadap hawa nafsu dan jihad terhadap setan. Bahkan disebutkan olehnya bahwa jihad merupakan perjuangan pikiran untuk melawan kebodohan. Untuk itu, pikirkanlah kembali, apakah itu jalan menuju jihad? Atau hanya bagian dari sebuah kebodohan? ***
*) M. Syaiful, pemerhati masalah keagamaan dan sosial politik.
Tentu saja dengan tewasnya gembong teroris ini diharapkan pemberantasan terorisme di Indonesia akan lebih efektif dan khususnya kondisi di wilayah Poso akan jauh lebih baik.
Nah, terorisme itu apa sih? Terorisme adalah puncak dari aksi kekerasan yang fungsinya untuk mengintimidasi, memengaruhi kebijakan pemerintah, memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan. Namun, korban dari tindakan teroris seringkali orang yang tidak bersalah.
Tindakan-tindakan yang memiliki elemen teroris adalah kekerasan, tujuan politik, dan teror. Pada intinya terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria.
Jauh sebelum Santoso lahir, terorisme sudah dikenal. Pada zaman Yunani kuno, sejarawan Xenofon (431-350SM) pernah menulis tentang perang psikologis yang efektif melawan musuh. Sementara, Kaisar Roma, Tiberius (14-37M) dan Kaligula (37-41) telah memakai pengasingan, penyitaan hak milik, dan eksekusi sebagai sarana menebar ketakutan bagi lawan yang melawan titah mereka.
Secara sistematis, terorisme muncul pada abad 19. Istilah ini semula menunjukkan tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Lebih lanjut, di Rusia, terorisme dikenal sebagai istilah untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah.
Terorisme kini telah menjadi bahaya laten. Matinya Santoso tetap tidak memutus mata rantai teror. Teror tetap saja subur. Pelaku adalah perpanjangan tangan teror. Ketakutan sebagai akibat sebenarnya pun sudah ada sebagai gejala psikis. Pelaku teror dengan suka rela menjadi perpanjangan tangan teror dan menjadi teroris dengan “iming-iming” yang tidak logis, hanya demi teror semata.
Siapa yang bisa memberantas terorisme? Jawabannya adalah kita. Kitalah sebagai penerus bangsa Indonesia yang mampu ikut serta dalam pemberantasan terorisme.
Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengajak dan ikut berfikir sejenak, apakah dengan ikut melakukan teror kita bisa disebut sebagai manusia yang berjihad? Hanya kita sebagai rekan, adik, kakak, saudara, sahabat terdekat yang bisa mengajak mereka yang memiliki kecenderungan untuk menyimpang agar tidak berpihak kepada para pelaku teror.
Pada dasarnya bagi sebagian masyarakat Indonesia yang tergabung dalam kegiatan teror adalah mereka yang memiliki pandangan bahwa teror merupakan salah satu jalan menuju jihad.
Jihad? Apakah membunuh mereka yang tidak bersalah demi mewujudkan tujuan sebuah organisasi ini yang disebut dengan jihad? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad diartikan sebagai usaha dengan segala upaya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Allah (Islam) dan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga.
Apakah membunuh merupakan segala usaha untuk mencapai kebaikan? Apakah meneror merupakan usaha sungguh-sungguh membela agama Allah? Apakah kegiatan-kegiatan tersebut mencerminkan salah satu dari arti jihad yang sesungguhnya? Tentu saja tidak, tidak satupun kegiatan tersebut mencerminkan bentuk dari jihad.
Dalam QS. al- Ankabut (29): 8 dan QS. Lukman (31): 15. Terjemahannya:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,.QS. Lukman (31): 15.
Jihad tidak hanya dipahami dalam arti perjuangan pisik atau perlawanan bersenjata, tetapi lebih jauh daripada itu merupakan perjuangan melawan dan memerangi hawa nafsu dan kebodohan. Jihad juga berarti ujian yaitu ujian bagi kualitas seseorang.
Sejalan dengan itu al-Asfhahany menyebutkan bentuk-bentuk jihad, yang antara lain adalah jihad terhadap orang-orang kafir, munafik, zhalim, jihad terhadap hawa nafsu dan jihad terhadap setan. Bahkan disebutkan olehnya bahwa jihad merupakan perjuangan pikiran untuk melawan kebodohan. Untuk itu, pikirkanlah kembali, apakah itu jalan menuju jihad? Atau hanya bagian dari sebuah kebodohan? ***
*) M. Syaiful, pemerhati masalah keagamaan dan sosial politik.