Media Sosial atau Media Provokator

981 views
SEBENARNYA, keberadaan media sosial atau Medsos di era digitalisasi dan keterbukaan politik serta demokrasi dewasa ini adalah berkah atas kemajuan teknologi, sehingga masyarakat dapat berbagi informasi kepada komunitas masyarakat lainnya tanpa batas, bahkan yang menjadi kedewasaan untuk mengirim atau tidaknya sebuah pesan di Medsos tergantung kepada pemilik Medsos itu sendiri atau andalah yang menjadi “Pemimpin redaksinya”, sehingga risiko apapun akibat tulisan atau meme anda di Medsos menjadi tanggung jawab pribadi. Berbeda dengan sistem tanggung jawab di media konvensional yang mengenal istilah “tanggung jawab berjenjang”.

Peneliti di Medical College of Wisconsin di Milwaukee, Megha Sharma, menyatakan, media sosial (Medsos) menjadi sumber berita utama bagi banyak netizen di dunia. Sayangnya keakuratan berita yang tersebar di medsos ini tidak terjamin berdasarkan fakta sepenuhnya, disebabkan netizen lebih banyak mengunggah berita yang tidak berasal dari narasumber mumpuni atau netizen seakan tidak melihat kredibilitas sebuah informasi.

Dampaknya, kabar bohong atau hoax beredar di dunia maya, disebar dari satu akun ke akun lain, berpindah dari Facebook ke Twitter, Twitter ke WhatsApp grup, dan dalam beberapa jam, tanpa diketahui siapa yang pertama menyebarnya pesan itu telah mengundang amarah atau rasa takut pengguna. Ini adalah kekhawatiran yang muncul belakangan, terutama setelah Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituding melakukan penistaan agama, sebuah tuduhan masih diselidiki oleh Kepolisian.

Menurut pengamat media sosial Nukman Luthfie kepada BBC Indonesia mengatakan, ”(kabar-kabar bohong) itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan secara berlebihan. Sekadar khawatir iya, makanya pemerintah harus bertindak, karena tetap saja masih bisa ada yang bisa termakan,’ katanya. ”Tapi tidak usah berlebihan, karena orang-orang yang sehat di media sosial itu banyak, mereka yang akhirnya menentramkan sendiri, tidak usah pusing.”

Ini bukan pertama kali dan bukan yang paling keras fitnahnya, kata Nukman. ”Sosial media juga tidak seheboh yang kemarin karena orang sudah belajar, mana yang hoax, mana yang editan, dan mana akun palsu, bagaimana cara informasi yang benar. Jadi walau ada yang main-main di situ (membuat berita hoax) tidak ada gunanya. Dibantah juga sudah selesai. Tidak mempan lagi.”

Memang sangat disayangkan perkembangan Medsos saat ini seperti yang dikhawatirkan Presiden Jokowi sangat menyedihkan, bahkan Medsos tidak lagi menjadi wahana edukasi melainkan liar menjadi wahana provokasi, dan isi atau pesan yang dimuat dalam Medsos tidak sesuai dengan ajaran agama manapun yang dianut di Indonesia.
   
Apalagi pasca unjuk rasa ricuh pada 4 November 2016 sampai saat ini, marak ditandai atau berlanjutnya penyebaran pesan baik dalam bentuk gambar, meme, video dll provokatif di berbagai sarana Medsos seperti whatsaap, twitter, youtube, instagram, facebook dll. Hujat menghujat dan caci memaki terus berhamburan di ranah dunia maya tersebut, ibaratnya telah terjadi “proxy war” di dunia maya.
   
Beberapa pesan provokatif di Medsos tersebut juga dapat dinilai sebagai salah satu upaya berbagai kelompok dalam merespons aksi unjuk rasa 4 November 2016 yang semula ditujukan sebagai aksi massa damai, walaupun akhirnya “ditunggangi” berbagai kelompok kepentingan yang kemudian berubah menjadi rusuh.
   
Banyak kalangan menilai, berlanjutnya penyebaran pesan-pesan di Medsos yang cenderung bernuansa provokatif telah menyebabkan saat ini dunia “perpolitikkan” Medsos di Indonesia tidak salah disebut sebagai media provokator.
   
Padahal, penggunaan Medsos oleh kelompok post power syndrome, kelompok kepentingan, kelompok radikal ataupun kelompok avonturir yang cenderung bernuansa “stir up atau menghasut” dan provokatif dikhawatirkan dapat menciptakan opini yang salah terhadap sebuah kasus, bahkan penyebaran pesan provokatif dan menghasut tersebut rawan dipolitisasi dan dikhawatirkan menimbulkan emosi massa yang tidak terkontrol, bahkan menimbulkan intoleransi, radikalisme dan aksi teror.
   
Bagaimanapun juga, ada berbagai dampak yang ditimbulkan dengan masih berlanjutnya fenomena penyebaran pesan provokatif di Medsos antara lain: munculnya konstruksi pesan yang salah terhadap sebuah kasus; Penyalahgunaan Medsos oleh berbagai kelompok kepentingan cenderung akan mengalami peningkatan, sebagai dampak literasi penggunaan Medsos yang sehat kurang berdampak luas; Memicu eskalasi munculnya negative sentiment ditengah-tengah masyarakat yang dapat mengganggu harmonisasi sosial dan menyebabkan segregrasi atau keretakan sosial di tengah masyarakat; Munculnya pesan ketidakberdayaan negara dalam menghandle penyebaran pesan provokatif di Medsos.

Upaya Pencegahan

Bagaimanapun juga, berlanjutnya penyebaran pesan provokatif, hoax dan menghasut di Medsos harus mendapatkan perhatian serius dari kalangan stake-holder yang diberikan amanah negara untuk mencegahnya.

Oleh karena itu, perlu segera ada langkah dan upaya strategis terkait masalah ini yaitu : Pertama, Stake holder perlu mendekati komunitas Humas atau kelompok netizen untuk menjelaskan posisi pemerintah terkait permasalahan yang sedang gencar dibicarakan di Medsos.
   
Kedua, penyebaran narasi-narasi positif terkait upaya menjaga harmonisasi kebangsaan, mencegah radikalisme, mengingatkan adanya ancaman terorisme, jangan menyebarkan isu SARA, termasuk kedewasaan menggunakan Medsos dll perlu digencarkan.
   
Ketiga, Kementerian Kominfo perlu menjelaskan secara lebih lanjut atau melakukan sosialisasi terkait sistem Big Data Cyber Security yang selama ini masih disalahpahami oleh masyarakat.
   
Keempat, Kementerian Kominfo dan komunitas Humas di masing-masing K/L perlu mengadakan netizen gathering terkait perkembangan situasi nasional yang ada, sehingga dapat meminimalisir penyalahgunaan Medsos. ***

*) Arif Rahman, peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta
Bagikan ke:

atau media provokator sosial

Posting Terkait