PERISTIWA pemboman di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur menimbulkan pertanyaan, siapa dalang dari kejadian yang dengan tega melukai toleransi beragama di Indonesia.
Meskipun belum diketahui secara pasti motif dibalik aksi, namun dapat dipastikan bahwa aksi teror tidak berhubungan dengan kondisi nasional saat ini. Aksi tersebut hanya merupakan bentuk provokasi dari pihak yang ingin memecah belah bangsa.
Menurut Kapolri Tito Karnavian bahwa aksi teror di Gereja Oikumene diperkirakan memiliki hubungan dengan kelompok ISIS. Hal ini berdasarkan pada data Kepolisian yang menunjukan bahwa pelaku teror Juhanda alias Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia adalah anggota dari kelompok Jemaaah Ansharut Daulah (JAD) yang diketahui berafiliasi dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syira (ISIS). ISIS memang selama ini dikenal sebagai kelompok yang bersifat intolelir terhadap agama lain.
Selain itu, jika dilihat dari bentuk serangan yang dilakukan, maka serangan di gereja Oikumene memang sesuai dengan ciri dari serangan kelompok ISIS yang kini menerapkan sistem lone wolf attack. Karena serangan tersebut dilakukan hanya seorang diri dan terkesan tanpa adanya persiapan yang matang, sehingga pelaku hanya menggunakan bom molotov sebagai media serangan. ISIS memang menyerukan kepada para simpatisannya untuk melakukan serangan secara mandiri guna menghindari deteksi oleh aparat keamanan dan menyebarkan serangan secara luas.
Namun, aksi teror di gereja Oikumene bukanlah aksi teror biasa yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan kekacauan semata. Aksi teror ini berusaha menunggangi isu SARA yang saat ini sedang berkembang guna mengusik kerukunan hidup umat beragama, mengancam kebhinekaan dalam NKRI, serta menciptakan situasi chaos di Indonesia.
Hal ini dapat terjadi, karena saat ini Indonesia sedang mengalami kuatnya arus provokasi dari berbagai pihak yang memanfaatkan momentum aksi bela Islam untuk menciptakan situasi kekacauan, distabilitas nasional, dan disintegrasi bangsa. Sehingga negara Indonesia menjadi negara yang tidak aman, mencekam, dan menakutkan.
Sayangnya, usaha provokasi dengan menunggangi isu SARA yang dilakukan oleh kelompok teror sepertinya tidak berjalan baik di Indonesia. Masyarakat tidak terpengaruh dengan isu provoaktif yang berusaha disebar oleh kelompok teror tersebut. Masyarakat Indonesia yang cerdas sepertinya telah paham bahwa aksi tersebut hanya merupakan aksi provokasi dari pihak yang memiliki kepentingan untuk mengahancurkan bangsa.
Aksi tersebut malah mendapat kecaman, baik dari umat Nasrani maupun dari umat Islam. Setelah aksi #Kamitidaktakut pasca peristiwa bom Thamrin, kini masyarakat Indonesia kembali menunjukan kedewasaannya dengan aksi #Kamitidakterprovokasi pasca peristiwa bom Samarinda. ***
*) Ade Nauval, pemerhati politik dan kebangsaan.
Meskipun belum diketahui secara pasti motif dibalik aksi, namun dapat dipastikan bahwa aksi teror tidak berhubungan dengan kondisi nasional saat ini. Aksi tersebut hanya merupakan bentuk provokasi dari pihak yang ingin memecah belah bangsa.
Menurut Kapolri Tito Karnavian bahwa aksi teror di Gereja Oikumene diperkirakan memiliki hubungan dengan kelompok ISIS. Hal ini berdasarkan pada data Kepolisian yang menunjukan bahwa pelaku teror Juhanda alias Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia adalah anggota dari kelompok Jemaaah Ansharut Daulah (JAD) yang diketahui berafiliasi dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syira (ISIS). ISIS memang selama ini dikenal sebagai kelompok yang bersifat intolelir terhadap agama lain.
Selain itu, jika dilihat dari bentuk serangan yang dilakukan, maka serangan di gereja Oikumene memang sesuai dengan ciri dari serangan kelompok ISIS yang kini menerapkan sistem lone wolf attack. Karena serangan tersebut dilakukan hanya seorang diri dan terkesan tanpa adanya persiapan yang matang, sehingga pelaku hanya menggunakan bom molotov sebagai media serangan. ISIS memang menyerukan kepada para simpatisannya untuk melakukan serangan secara mandiri guna menghindari deteksi oleh aparat keamanan dan menyebarkan serangan secara luas.
Namun, aksi teror di gereja Oikumene bukanlah aksi teror biasa yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan kekacauan semata. Aksi teror ini berusaha menunggangi isu SARA yang saat ini sedang berkembang guna mengusik kerukunan hidup umat beragama, mengancam kebhinekaan dalam NKRI, serta menciptakan situasi chaos di Indonesia.
Hal ini dapat terjadi, karena saat ini Indonesia sedang mengalami kuatnya arus provokasi dari berbagai pihak yang memanfaatkan momentum aksi bela Islam untuk menciptakan situasi kekacauan, distabilitas nasional, dan disintegrasi bangsa. Sehingga negara Indonesia menjadi negara yang tidak aman, mencekam, dan menakutkan.
Sayangnya, usaha provokasi dengan menunggangi isu SARA yang dilakukan oleh kelompok teror sepertinya tidak berjalan baik di Indonesia. Masyarakat tidak terpengaruh dengan isu provoaktif yang berusaha disebar oleh kelompok teror tersebut. Masyarakat Indonesia yang cerdas sepertinya telah paham bahwa aksi tersebut hanya merupakan aksi provokasi dari pihak yang memiliki kepentingan untuk mengahancurkan bangsa.
Aksi tersebut malah mendapat kecaman, baik dari umat Nasrani maupun dari umat Islam. Setelah aksi #Kamitidaktakut pasca peristiwa bom Thamrin, kini masyarakat Indonesia kembali menunjukan kedewasaannya dengan aksi #Kamitidakterprovokasi pasca peristiwa bom Samarinda. ***
*) Ade Nauval, pemerhati politik dan kebangsaan.