Mengawal Stabilitas Ekonomi Indonesia

777 views
“BEKERJA, bekerja, bekerja” merupakan slogan dalam kepemimpinan Jokowi dalam menakhodai negara ini ternyata menghasilkan buah sangat menakjubkan yang belum pernah dicapai oleh presiden-presiden yang ada di dunia dalam jangka 1 tahun awal kepemimpinan.

Karena prestasi itu sulit didapat dengan kondisi Indonesia sebagai negara berkembang yang masih jauh tertinggal lalu ditambah budaya korupsi dan feodalis yang masih kental melekat di tubuh pemerintah dan perpolitikan yang berorientasi transaksional (proyek dan jabatan) serta masih kuatnya kekuatan lama bercokol di segala lapisan bukanlah suatu yang mudah bagi seorang pemimpin di negara ini untuk melakukan perubahan.

Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, tantangan demi tantangan kedepan harus dilewati oleh bangsa ini untuk mewujudkan  masyarakat yang sejahtera dengan menjaga stabiitas perekonomian, seperti halnya masalah infrastruktur yang terjadi saat ini mengarah pada kadar persoalan yang semakin berat, misalnya pelayanan infrastruktur transportasi, penyediaan air bersih, pembuangan limbah, serta infrastruktur penunjang produksi lainnya. Solusi yang ditawarkan saat ini yakni penyelesaian persoalan yang parsial sehingga bisa mengatasi ketidakmampuan sistem  infrastruktur dalam memerankan fungsinya. 

Banyak aspek yang menjadi penyebab, misalnya keterbatasan serta kebijakan alokasi anggaran pembangunan, aspek kejelasan kewenangan serta peraturan, ataupun konflik antar daerah dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur.

Kemudian masalah perekonomian yakni kesiapan pemerintah menghadapi MEA atau sebuah masyarakat yang saling terintegrasi satu sama lain (maksudnya antara negara yang satu dengan negara yang lain dalam lingkup ASEAN) dimana adanya perdagangan bebas diantara negara-negara anggota ASEAN yang telah disepaki bersama antara pemimpin-pemimpin negara-negara ASEAN untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang lebih stabil, makmur dan kompetitif dalam pembangunan ekonomi. Artinya pemerintahan Jokowi ini harus tegas menghadapi MEA. 

Pentingnya Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak terlepas dari dampak positif dan manfaat dari diberlakukannya perdagangan bebas diwilayah regional Asia Tenggara tersebut. Mungkin saat ini dampak positifnya belum begitu terasa karena MEA baru saja diberlakukan yaitu pada tahun 2015 lalu, namun diharapkan manfaat besarnya akan terasa pada tahun-tahun selanjutnya. 

Ketika MEA telah berjalan, pemerintah harus lebih mengkaji   bila ingin menaikkan harga BBM. Setiap kenaikan harga BBM akan menghilangkan sekian persen kesempatan atau peluang anak bangsa ini di pasar bebas ASEAN. 

Karena nantinya Indonesia akan mempekerjakan orang asing di Indonesia, sedangkan lebih dari 30% penduduk Indonesia merupakan pengangguran dengan daya persaingan yang ketat dan dengan data penduduk dimana kebanyakan penduduk yang menjadi pengangguran di sebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Sedangkan salah satu persyaratan yang harus dimiliki peserta MEA yaitu menguasai bahasa asing bagaimana dengan penduduk Indonesia yang minim akan pengetahuan, yang jelas tidak bisa berbahasa asing. Begitu juga dengan kebutuhan energi listrik untuk konsumsi industri skala kecil, menengah hingga skala besar. 

Optimisme dan pesimisme membayangi kita menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sosialisasi secara intensif harus dilakukan agar tidak terjadi kegaduhan yang akhirnya dipolitisir guna kepentingan yang sifatnya kontra produktif.

Namun Jokowi mampu menghadapi kondisi tersebut untuk menjalankan program-programnya untuk memberikan terbaik kepada rakyatnya tanpa harus membusungkan dada dan tanpa terjadi konflik sosial. Meski Jokowi sadar dirinya adalah penguasa besar di negeri ini yang setiap orang bisa tunduk kepadanya tapi Jokowi menghadapinya dengan memberi keteladanan bekerja sebagai bhakti kepada negerinya menciptakan Indonesia negara besar dan bermartabat. Kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, Jokowi bersama bawahannya terus bergerak bekerja tanpa lelah dan tanpa kenal waktu melakukan terobosan-terobosan di segala sektor.

Dalam visi Nawacita, Presiden Jokowi berkomitmen untuk membangun infrastruktur secara komprehensif. Termasuk di dalamnya adalah transportasi umum yang terintegrasi di darat, laut dan udara serta peningkatan kapasitas jalan, melalui pelebaran jalan, penambahan jalan baru dan pembangunan jalan tol. 

Dengan ketersediaan infrastruktur yang beragam dan memadai, maka efisiensi lebih tercipta. Sektor riil akan lebih berpeluang tumbuh lebih besar karena para pelaku usaha kecil hingga besar sama-sama diuntungkan dengan biaya transportasi dan logistik yang lebih murah dibandingkan jika infrastruktur kurang tersedia atau berkualitas buruk. 

Oleh karena itu jalan tol masih relevan dan tetap dibutuhkan terutama untuk mempercepat konektivitas antar kota dalam sebuah pulau. Program pembangunan Tol Laut dengan nama lain ‘Pendulum Nusantara’ adalah sebuah program terobosan dilakukan Jokowi yang tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah sebelumnya.

Pembangunan infrastruktur harus memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga dalam jangka panjang keberadaan infrastruktur tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Mekanisme penyediaan infrastruktur harus mendasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, serta memperhatikan aspek efisiensi dan keadilan.

Disamping itu, masyarakat Indonesia sudah seharusnya peka dalam menanggapi isu-isu kekinian dan terus berkembang seiring dengan waktu yang terus berputar. Sekarang mari mendukung Jokowi, tanamkan optimisme tinggi sambil terus  kerja dan kerja, jauhi korupsi, jangan hanya berpikir negatif dan terus larut dalam kebencian. Songsonglah kemajuan yang sudah di depan mata yang akan dialami  bangsa ini di bawah pimpinan Jokowi. Selamat Pak Jokowi!!! ***

Pradnya Bayu Wibowo, pemerhati ekonomi, aktif pada Kajian Pengembangan Pembangunan Negara Berkembang.

Bagikan ke:

Posting Terkait