“Obat-obatan harus tersedia, tidak bisa ditunggu kalau sudah saatnya dioperasi. Kalau tidak dilayani bisa dituding mal praktek pula, namun kalau yang kita inginkan tidak ada bisa lumpuh, tidak bisa bekerja, untuk obat-obatan sudah emergency, ini juga dirasakan dokter spesialis lainnya,” ujar Dr Fahdiansyah dikutip riauterkinicom, Jumat, 26 Februari 2016.
Ukup merasa heran dengan permasalahan tersebut. "Memangnya Kuansing saja yang punya RSUD, kabupaten lain juga punya, kalau kurang masih bisa dimaklmumi. Katakanlah APBD Kita kecil dan kalau stok habis pada akhir tahun itu, tetapi kalau bulan Maret sudah tidak ada ya bagaimana bekerja, satu bulan beroperasi kemudian obat-obatan sudah tidak ada. Evaluasi perencanaan dan pengadaan agar stok tetap tersedia karena untuk obat-obatan sudah emergency ,” ujarnya heran
.Begitupun juga dengan pelayanan terhadap pasien BPJS kata Ukup. Menurutnya, pemegang kartu BPJS tahunya berobat gratis. Namun disaat akan lakukan tindakan, yang kecil saja kadang benang tidak ada.
"Akhirnya kami minta keluarga mencari di apotik. Ada kadang menggunakan ojek, untuk ojek bayar 50 ribu kebawah, jadi untuk membeli benang pasien akhirnya menghabiskan Rp50 ribu," tutur Ukup.
Oleh karena itu, pihaknya meminta manajemen RSUD agar segera membenahi masalah stok obat-obatan ini, supaya para pasien dapat terlayani dengan maksimal.
“Waktu Pak Wabup Zulkifli ke RSUD sudah kami sampaikan masalah ini. Untuk gedung dan sarana prasarana serta jumlah paramedis, RSUD ini sudah cukup baik, tinggal stok obat dan pelayanan yang harus ditingkatkan," harapnya.
Sementara itu Direktur RSUD Teluk Kuanta, dr David Oloan, saat ditanya wartawan, sebelumnya mengakui kondisi stok obat yang minim. Hal ini disebabkan oleh sistem pengadaan obat-obatan e-Catalog yang membuat pihak RSUD cukup kesulitan memenuhi kebutuhan masyarakat terutama dalam penyediaan obat-obatan.
"Sistem pengadaan obat-obatan e-catalog langsung dilakukan pusat, artinya tender obat ini langsung pusat yang melakukan, kalaupun sudah obat tersebut masuk dalam e-catalog, tapi tidak keluar di internet, obat tersebut tidak bisa dibeli," jelas David.
David juga menjelaskan, alasan obat-obatan itu langsung ditender pusat, berkemungkinan bertujuan untuk meminimalisir terjadinya permainan dalam proses tender, "Tapi masyarakat kita yang jadi korban akibat proses pengadaan yang dilakukan pusat melalui e-catalog. Ini cukup menyulitkan kita dalam membeli obat secara langsung," beber David.
Kata David, hal seperti ini perlu di luruskan, supaya jangan sampai pihak rumah sakit yang terus disalahkan karena tidak ada ketersediaan obat di apotik RSUD, "Kalau keinginan kita, untuk pengadaan obat-obatan ini biarlah kita yang langsung melakukan, tapi mengikut aturan dilakukan oleh pusat. Sehingga kita kesulitan dalam memenuhi kebutuhan obat. Kalau belum ditender pusat maka belum bisa kita menyediakan obat untuk masyarakat, paling pusat melakukan tender pada April mendatang,"katanya.
Parahnya lagi kata David, saat ini untuk pengadaan obat-obatan tahun ini anggarannya juga sudah berkurang dari Rp 1,8 milyar menjadi Rp1,4 Miliar tahun ini.*ref