Nur Eyuni, Guru Sekaligus Orangtua Siswa di Sekolah

3414 views

Nur Eyuni SPd, Kepsek SDN 125 Pekanbaru Kota

PEKANBARU (LintasRiauNews) – Selama puluhan tahun berkecimpung di dunia pendidikan. beragam suka duka dialami wanita yang berprofesi sebagai guru ini. Namun, semenjak bertugas di SDN 125 Kelurahan Tanah Datar Kecamatan Pekanbaru Kota, ia baru merasa lebih tertantang sebagai seorang pendidik.

Wanita 56 tahun bernama lengkap Nur Eyuni SPd ini mengaku selama 37 tahun mengajar dan memimpin berbagai sekolah dasar, saat mengabdi di SDN 125 inilah dirinya beroleh pengalaman unik dan berkesan sekaligus menjadi tantangan tersendiri baginya.

Nur yang mulai menyandang profesi guru sejak tahun 1980 itu menuturkan pengalaman dan tantangan yang dialaminya sebagai pendidik di SDN 125, dimana ia dipercaya menjabat kepala sekolah setahun terakhir, tidak seberat ketika bertugas di sekolah -sekolah terdahulu.

Ia mengungkapkan saat bertugas di sekolah sebelumnya, paling masalahnya hanya siswa yang malas belajar dan suka ribut di kelas. Begitu juga, di sekolah di daerah pinggiran atau terpencil, masalahnya cenderung minimnya sarana dan prasarana.

“Tetapi suasana di SDN 125 ini berikut problemanya sangat berbeda dibanding saat saya bertugas di sekolah sebelumnya. Para guru di SD ini. tidak cukup hanya jadi pengajar, tapi juga pendidik yang terkadang memfungsikan diri sebagai orang tua siswa di sekolah,” papar Nur saat berbincang-bincang dengan LintasRiau di ruangan kerjanya, baru-baru ini.

SDN 125 Kel.Tanah Datar, Pekanbaru Kota

Menurut Kepsek, problema yang dihadapi dalam proses belajar mengajar di SDN 125 bukan masalah sarana prasarana ataupun ekonomi peserta didik. Permasalahannya lebih spesifik pada mentalitas anak didik karena pengaruh faktor keluarga dan lingkungan sosial.

Sekolah yang memiliki total murid sebanyak 316 orang ini berada di tengah kota dengan lingkungan sosial yang kurang baik dan sering terjadi kasus pelanggaran hukum. Para siswa yang bersekolah di SD ini umumnya anak-anak warga setempat dan tak sedikit pula yang berasal dari keluarga bermasalah.

Sedikit contoh, lanjut dia, ada beberapa siswa yang tidak lagi punya orang tua utuh, baik karena bercerai atau meninggal. Ada siswa yang punya bapak dan ibu tapi sibuk dengan urusannya. Ada pula murid yang bapaknya keluar masuk penjara, sedang ibunya sibuk bekerja atau entah kemana.

“Intinya, cukup banyak siswa kami yang tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang semestinya dari orangtuanya. Kondisi ini membuat pikiran dan mentalitas mereka lemah dan labil. Selain jadi pemalas, mereka juga menunjukkan perangai yang kurang beretiika bahkan nakalnya menjurus jahat karena dipengaruhi lingkungan sosial sekitarnya,” terang Nur.

Menghadapi siswa bermasalah demikian, tidaklah mudah. Nur yang sebelumnya menjabat Kepsek SD 05 Kelurahan Sukajaadi Kecataman itu menyebut ia dan majelis guru yang berjumlah 19 orang dituntut ekstra sabar dan harus melakukan langkah persuasif.

“Karena pernah kita coba bertindak keras, bukannya menurut, mereka malah melawan dan menantang. Bahkan, siswa yang sudah keterlaluan nakalnya tidak takut saat diancam dilap;orkan ke polisii. Makanya, menghadapi siswa demikian, kita kemudian lebih sering melakukan pendekatan dan pembinaan secara persuasif. Tak jarang kita juga memposisikan diri sebagai orangtuanya,” tutur Nur.

Sang kepsek mengaku cukup banyak pengalaman dirinya dalam melakukan peran ganda sebagai pendidik dan orangtua. Ia mencontohkan, suatu kali tiba-tiba ada murid yang mendatangi dan menyalaminya. Lalu, spontan murid lelaki itu minta dipeluk.

“Saya awalnya kaget, namun sadar kalau murid ini punya masalah psikologis, Saya peluk dia dan diajak bincang-bincang tentang keluarganya. Akhirnya terungkap kalau murid ini tidak ada lagi punya orangtua. Bapak di penjara karena kasus narkoba dan sang ibu pergi meninggalkan rumah. Rupanya dia kurang kasih sayang,” kenangnya.

Pengelaman lainnya, salah satu siswa sering tak masuk sekolah. Maka dipanggil orangtuanya dan yang datang ke sekolah adalah bapaknya. Si bapak minta maaf dan mengakui kurang memperhatikan anaknya. Dia mohon pengertian dan membantu mendidik anaknya.

“Karena saya sering ke luar, buk. Ibunya juga sibuk berjualan dan malamnya sudah kelelahan. Saya tanya ke luar mana, dia jujur jawab keluar masuk penjara karena narkoba, Jadi tolonglah ibu guru didik anak saya,” tutur Nur mengisahkan pengalamannya.

Satu pengalaman nyata yang berkesan saat salah satu siswa mencuri ponsel milik guru. Meski terindikasi ia mencuri, toh si murid bersikukuh tidak mengaku, Diancam dilaporkan ke polisi, ia juga tak takut. Karena penasaran, guru melapor ke polisi dan si murid pun diinterogasi.

“Setelah berhadapan dengan polisi, ia mengakui mencurinya, tapi ponsel itu sudah diberikan ke kawannya. Namun, ia dengan enteng menjawab tak tahu nama kawannya dan berdalih baru kenal di depan sekolah,” cerita Nur.

Menghadapi murid bengal satu ini, Nur menyadari tidak bisa dengan keras, tapi harus bersikap lunak. Ia kemudian melakukan pendekatan kasih sayang, layaknya sebagai orangtua si murid. Hasilnya, si murid akhirnya bersedia memulangkan ponsel milik guru tersebut dengan cara menaruhnya di suatu tempat.

Bertolak dari pengalamannya tersebut, Nur mengatakan lingkungan sekitar sangat berpengaruh bagi perkembangan karakter anak murid. Bila anak berada pada lingkungan yang baik, maka pengaruh baik pula yang diperoleh. Sebaliknya, jika lingkungan buruk, maka buruk pula bagi perkembangan karakter murid.

Menyikapi kondisi demikian, lanjut Kepsek, maka guru juga harus giat menjalin komunikasi dengan orang tua dan masyarakat setempat dalam mengevaluasi perkembangan anak didik.

“Kita sama ketahui bahwa waktu belajar anak didik di sekolah tergolong singkat. Waktu efektif belajar anak-anak hanya 4,5 jam dalam sehari. Itupun jika pembelajaran penuh dan guru mengajar dengan tepat waktu. Nah, bagaimana waktu yang tersisa, anak didik gunakan untuk apa?” urainya.

Di sisi lain, sebagian besar orang tua karena disibukkan dengan pekerjaannya, kekurangan waktu untuk berkumpul dan mendidik anaknya. Padahal, orangtua berperan penting dalam pendidikan dan perkembangan seorang anak.

“Pada akhirnya orang tua kerap menyalahkan guru, sebaliknya, guru menyalahkan orang tua.. Apabilla saling menyalahkan, ini tidak akan ada ujungnya. Makanya, menjadi seorang guru yang mempunyai pendidikan tinggi, seharusnya bisa menyikapi permasalahan ini secara bijak,” papar Nur.

Belajar dari pengalamannya, Nur mengatakan sebagai pendidik hal itu merupakan tantangan yang mesti dicarikan solusi agar karakter anak didik terbentuk sesuai harapan.

“Salah satu solusinya guru menrjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat, Bila kerjasama sudah terjalin baik, akan akan mudah mengevaluasi kegiatan dan perkembangan anak didik di luar jam sekolah,” pungkas Nur Eyuni.[] yan

Bagikan ke:

Posting Terkait