17 Agustus 1945 Bung Karno memroklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Namun, Belanda masih tidak mau angkat kaki dari wilayah NKRI termasuk daerah Papua. Entah apa yang melatarbelakangi keengganan mereka untuk angkat kaki dari Tanah Papua, siapa yang tau pada masa itu? Entahlah! Bangsa Indonesia pada saat itu tidak tinggal diam melihat kelakuan Belanda, banyak upaya-upaya dalam mengusir penjajah Belanda dari Tanah Papua.
Salah satu faktor penyebab Papua terus terjadi pergolakan adalah karena banyak opini dan pendapat sehingga menyebabkan banyak perdebatan tentang keabsahan pelaksanaan Referendum Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.
Banyak anak muda zaman sekarang yang tidak mengerti secara mendalam peristiwa PEPERA ini kenapa dilaksanakan. Peristiwa PEPERA ini didahului berbagai peristiwa, diantaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Peristiwa Tri Komando Rakyat (Trikora) 1961, dan New York Agremeent 1962.
Sebelum pelaksanaan PEPERA, Bung Karno menginjakkan kaki di Tanah Papua dan berpidato dengan semangat di hadapan ribuan warga Papua, “Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 mei 1963).
Pelaksanaan referendum dipersiapkan sekitar 7 tahun yang di siapkan oleh salah satu badan PBB bernama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kemudian pada tahun 1969 referendum (PEPERA) digelar dan hasil referendum tersebut adalah Papua kembali ke pangkuan NKRI, maka jadilah Papua menjadi provinsi ke-26 di Indonesia dengan nama Irian Jaya.
Namun keputusan ini sangat ditentang oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal ini diteruskan hingga saat ini oleh kelompok-kelompok separatis di Tanah Papua, mereka meminta referendum ulang padahal hal itu sangat tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Hingga saat ini perjuangan Papua untuk tetap berintegrasi dan tetap dalam wilayah NKRI masih belum selasai.
Kelompok separatis Papua pun semakin lihai dalam meminta dukungan dari dalam maupun luar negeri. Penggunaan senjata dalam memerdekakan Papua sudah dikurangi karena kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk merdeka. Sehingga mereka sudah mulai menggunakan soft-approach untuk meminta dukungan dan menggukan ISU HAM dan KEMANUSIAAN untuk menggalang pihak-pihak yang bersedia memberikan dukungan. Hal ini pun menjadi salah satu perhatian dunia internasional karena ISU HAM menjadi sangat marak dibahas untuk saat ini.
Kelompok-kelompok separatis ini di antaranya Organisasi Papua Merdeka (OPM), Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai sayap politik OPM, dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Masyarakat Papua menghadapi nasib yang mereka alami selama ini disebabkan ulah segelintir oknum OPM dan KNPB tersebut yang melakukan aksi kekerasan dan penindasan.
Sekain itu, mereka juga melakukan propaganda dan provokasi kepada masyarakat Papua agar mau memerdekakan diri dan keluar dari NKRI. Untuk itu masyarakat Papua harus terus konsiten satu suara menuntut agar OPM dan KNPB dibubarkan dari Tanah Papua karena dinilai eksistensi organisasi-prganisasi tersebut melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Berbagai kegiatan propokatif politik dan aksi-aksi anarkis yang selama ini dilakukan oleh kelompok organisasi separatis ini menjadi musuh dalam selimut dari seluruh masyarakat Papua. Isu-isu tentang kabar miring yang tidak pernah benar dan sesuai kenyataan yang terjadi dilapangan selalu disebarluaskan kepada seluruh masyarakat yang membuat masyarakat semakin risih dan geram dengan pemberitaan tersebut.
Organisasi-organisasi separatis Papua ini merupakan organisasi yang bisa dikatakan cukup berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aksi yang telah mereka lakukan, diantaranya adalah peneyerangan, penembakan, pemerasan, pemerkosaan, dan pembakaran fasilitas umum. Dalam acara gelar barang bukti yang dilakukan TNI di lobby Markas Kodam Cendrawasih, di Jayapura, Kamis (7/8/2014), terdapat 44 pucuk senjata api (senpi) dari berbagai jenis, 9 magazin dan 1.522 amunisi Semua barang bukti itu adalah hasil sitaan dari kelompok sipil bersenjata melalui kontak tembak, dan juga melalui operasi penegakan hukum yang dilakukan pihak TNI selama tujuh bulan terakhir di Papua, sejak Januari sampai Juli 2014. (kompas.com 8 Agustus 2014).
Hal tersebut merupakan salah satu fakta bahwa oganisasi separatis yang ada di Papua cukup berbahaya karena memiliki senjata dimana peraturan yang ada di Indonesia tidak memperbolehkan masyarakat sipil memiliki senjata. Tidak menutup kemungkinan masih banyak senpi yang beredar di masyarakat sipil di Papua, hal ini sangat berpotensi menjadi sumber ketakutan dan keresahan masyarakat Papua pada umumnya.
Namun masyarakat Papua tidak tinggal diam dalam menyikapi adanya kelompok-kelompok separatis ini. Banyak aksi-aksi unjuk rasa yang menolak adanya kelompok-kelompok separatis yang berkembang sejak lama di Papua. Salah satu contohnya adalah aksi yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat asli Kokoda, Sorong, Papua Barat, menolak Gerakan Separatis Papua Merdeka, dan menolak kehadiran organisasi terlarang. Aksi demo dan deklarasi tersebut menyatakan bahwa NKRI adalah harga mati, kebhinnekaan yang ada di Indonesia semuanya tetap satu dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu aksi serupa juga dilakukan oleh sejumlah elemen yang mengatasnamakan Aliansi Bela Negara Kesatuan Republik Indonesi (selasa 31/5/2016), menggelar aksi arak-arakan dan melakukan orasi di seputaran Jalan Percetakan Sanggeng Manokwari. Aliansi tersebut menolak dengan tegas keberadaan KNPB, PRD, ULMWP, dan NRFPB di Papua serta meyatakan Provinsi Papua Barat secara de facto dan de jure merupakan bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Dari beberapa fakta diatas dapat dilihat bahwa masyarakat Papua sangat menolak dan menentang keras organisasi-organisasi sepratis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI. Hal ini disebabkan karena organisasi tersebut merupakan organisasi militan yang tidak jarang meneror masyarakat dengan berbagai aksi yang mereka lakukuan, diantaranya adalah pencurian, penembakan, pemerkosaan, dan pemerasan.
Untuk itu, masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Papua harus menolak adanya organisasi sepratis di Papua dengan cara tidak mudah terprovokasi dan tidak ikut serta kedalam organisasi separatis tersebut.
Tanamkan dalam hati bahwa NKRI adalah harga mati, tak kan ada yang bisa merusak dan menjatuhkan kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke. Satukan Raga Junjunglah Cinta Demi Kedamaian dalam Kasih Abadi Sepanjang Masa. Cinta Negeriku, Kau Bangkitkan Semangat Hidup Selalu. ***
*) Raney Amanda, Pengamat Masalah Papua
Salah satu faktor penyebab Papua terus terjadi pergolakan adalah karena banyak opini dan pendapat sehingga menyebabkan banyak perdebatan tentang keabsahan pelaksanaan Referendum Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.
Banyak anak muda zaman sekarang yang tidak mengerti secara mendalam peristiwa PEPERA ini kenapa dilaksanakan. Peristiwa PEPERA ini didahului berbagai peristiwa, diantaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Peristiwa Tri Komando Rakyat (Trikora) 1961, dan New York Agremeent 1962.
Sebelum pelaksanaan PEPERA, Bung Karno menginjakkan kaki di Tanah Papua dan berpidato dengan semangat di hadapan ribuan warga Papua, “Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 mei 1963).
Pelaksanaan referendum dipersiapkan sekitar 7 tahun yang di siapkan oleh salah satu badan PBB bernama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kemudian pada tahun 1969 referendum (PEPERA) digelar dan hasil referendum tersebut adalah Papua kembali ke pangkuan NKRI, maka jadilah Papua menjadi provinsi ke-26 di Indonesia dengan nama Irian Jaya.
Namun keputusan ini sangat ditentang oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal ini diteruskan hingga saat ini oleh kelompok-kelompok separatis di Tanah Papua, mereka meminta referendum ulang padahal hal itu sangat tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Hingga saat ini perjuangan Papua untuk tetap berintegrasi dan tetap dalam wilayah NKRI masih belum selasai.
Kelompok separatis Papua pun semakin lihai dalam meminta dukungan dari dalam maupun luar negeri. Penggunaan senjata dalam memerdekakan Papua sudah dikurangi karena kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk merdeka. Sehingga mereka sudah mulai menggunakan soft-approach untuk meminta dukungan dan menggukan ISU HAM dan KEMANUSIAAN untuk menggalang pihak-pihak yang bersedia memberikan dukungan. Hal ini pun menjadi salah satu perhatian dunia internasional karena ISU HAM menjadi sangat marak dibahas untuk saat ini.
Kelompok-kelompok separatis ini di antaranya Organisasi Papua Merdeka (OPM), Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai sayap politik OPM, dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Masyarakat Papua menghadapi nasib yang mereka alami selama ini disebabkan ulah segelintir oknum OPM dan KNPB tersebut yang melakukan aksi kekerasan dan penindasan.
Sekain itu, mereka juga melakukan propaganda dan provokasi kepada masyarakat Papua agar mau memerdekakan diri dan keluar dari NKRI. Untuk itu masyarakat Papua harus terus konsiten satu suara menuntut agar OPM dan KNPB dibubarkan dari Tanah Papua karena dinilai eksistensi organisasi-prganisasi tersebut melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Berbagai kegiatan propokatif politik dan aksi-aksi anarkis yang selama ini dilakukan oleh kelompok organisasi separatis ini menjadi musuh dalam selimut dari seluruh masyarakat Papua. Isu-isu tentang kabar miring yang tidak pernah benar dan sesuai kenyataan yang terjadi dilapangan selalu disebarluaskan kepada seluruh masyarakat yang membuat masyarakat semakin risih dan geram dengan pemberitaan tersebut.
Organisasi-organisasi separatis Papua ini merupakan organisasi yang bisa dikatakan cukup berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aksi yang telah mereka lakukan, diantaranya adalah peneyerangan, penembakan, pemerasan, pemerkosaan, dan pembakaran fasilitas umum. Dalam acara gelar barang bukti yang dilakukan TNI di lobby Markas Kodam Cendrawasih, di Jayapura, Kamis (7/8/2014), terdapat 44 pucuk senjata api (senpi) dari berbagai jenis, 9 magazin dan 1.522 amunisi Semua barang bukti itu adalah hasil sitaan dari kelompok sipil bersenjata melalui kontak tembak, dan juga melalui operasi penegakan hukum yang dilakukan pihak TNI selama tujuh bulan terakhir di Papua, sejak Januari sampai Juli 2014. (kompas.com 8 Agustus 2014).
Hal tersebut merupakan salah satu fakta bahwa oganisasi separatis yang ada di Papua cukup berbahaya karena memiliki senjata dimana peraturan yang ada di Indonesia tidak memperbolehkan masyarakat sipil memiliki senjata. Tidak menutup kemungkinan masih banyak senpi yang beredar di masyarakat sipil di Papua, hal ini sangat berpotensi menjadi sumber ketakutan dan keresahan masyarakat Papua pada umumnya.
Namun masyarakat Papua tidak tinggal diam dalam menyikapi adanya kelompok-kelompok separatis ini. Banyak aksi-aksi unjuk rasa yang menolak adanya kelompok-kelompok separatis yang berkembang sejak lama di Papua. Salah satu contohnya adalah aksi yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat asli Kokoda, Sorong, Papua Barat, menolak Gerakan Separatis Papua Merdeka, dan menolak kehadiran organisasi terlarang. Aksi demo dan deklarasi tersebut menyatakan bahwa NKRI adalah harga mati, kebhinnekaan yang ada di Indonesia semuanya tetap satu dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu aksi serupa juga dilakukan oleh sejumlah elemen yang mengatasnamakan Aliansi Bela Negara Kesatuan Republik Indonesi (selasa 31/5/2016), menggelar aksi arak-arakan dan melakukan orasi di seputaran Jalan Percetakan Sanggeng Manokwari. Aliansi tersebut menolak dengan tegas keberadaan KNPB, PRD, ULMWP, dan NRFPB di Papua serta meyatakan Provinsi Papua Barat secara de facto dan de jure merupakan bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Dari beberapa fakta diatas dapat dilihat bahwa masyarakat Papua sangat menolak dan menentang keras organisasi-organisasi sepratis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI. Hal ini disebabkan karena organisasi tersebut merupakan organisasi militan yang tidak jarang meneror masyarakat dengan berbagai aksi yang mereka lakukuan, diantaranya adalah pencurian, penembakan, pemerkosaan, dan pemerasan.
Untuk itu, masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Papua harus menolak adanya organisasi sepratis di Papua dengan cara tidak mudah terprovokasi dan tidak ikut serta kedalam organisasi separatis tersebut.
Tanamkan dalam hati bahwa NKRI adalah harga mati, tak kan ada yang bisa merusak dan menjatuhkan kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke. Satukan Raga Junjunglah Cinta Demi Kedamaian dalam Kasih Abadi Sepanjang Masa. Cinta Negeriku, Kau Bangkitkan Semangat Hidup Selalu. ***
*) Raney Amanda, Pengamat Masalah Papua