PEKANBARU (LintasRiauNews) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengakui 50 persen lahan gambut yang ada di Tanah Melayu ini telah rusak yang disebabkan oleh banyak faktor.
“Salah satu faktor utama yang menyebabkan hal itu ialah kebakaran lahan dan hutan yang sudah terjadi selama 18 tahun terakhir,” kata Asisten III Setda Provinsi Riau Kasiaruddin di Pekanbaru, Sabtu (11/2).
Oleh sebab itu, lanjut dia, salah satu program dan fokus dari Pemprov Riau adalah mengantisipasi terjadinya Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) yang menyebabkan musim di Riau bertambah.
“Saat terjadi Karlahut musim di Riau tidak hanya musim kemarau atau musim hujan, tetapi musim asap,” ujarnya, seperti dilansir antarariau.com.
Hal itu, kata Kasiaruddin, menimbulkan banyak dampak buruk bagi kesehatan masyarakat serta berpengaruh kepada sektor pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau.
Ilmuwan Selingkuh
Sementara itu, pakar lingkungan Dr Elviriadi MSi menilai kerusakan gambut yang memicu terjadinya karlahut dan banjir bandang di Provinsi Riau adalah akibat dari perselingkuhan ilmuan dengan pihak yang merusak gambut.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Pekanbaru ini mengaku sering menjumpai para ilmuwan yang terkesan memback-up ((beking) perusahaan perusak gambut dan lingkungan di Provinsi Riau. Khususnya ilmuwan bidang sumber daya alam, kehutanan dan sosiologi.
Elviriadi menduga motif praktik perselingkuhan ilmuwan ni tak lain tak bukan adalah masalah uang. Demi keuntungan materi itu, oknum Ilmuan dengan sengaja melelang marwah dan integritas keilmuannya.
“Akibat dari keberpihakan orang berilmu, pihak perusak lingkungan dan birokrat korup dapat angin segar dan legitimasi yang kuat. Sebab, yang mendukung rata-rata bergelar profesor doktor,” kata aktivis 98 bertubuh tambun ini, Sabtu (11/2/2017), seperti dilansir goriau.com.
Menurut Elviriadi, pernyataannya itu bukan tanpa alasan. Sekira satu minggu yang lalu, ada segerombolan ilmuwan datang ke kampus terkemuka di Provinsi Riau. Gerombolan ilmuwan itu mau merevisi PP 71/2014 tentang perlindungan gambut.
Mereka cenderung mati-matian bersekongkol untuk membela industri kayu. “Kok nggak bicara ilmu dan wacana ilmiah,” tukasnya mempertanyakan.
Terkait kejadian itu, Elviriadi menjelaskan bahwa di dalam agama telah diterangkan, yang mana dikatakan kalau orang berilmu (cendekiawan) yang rusak, maka efek dahsyatnya masyarakat dan lingkungan hidup akan binasa.
“Bayangkan di Pulau Padang, Kabupaten Meranti, itu ratusan masyarakat dirampok kebunnya oleh perusahaan, ya karena ilmuwan itu mendukung. Bahkan, ada dosen Riau yang pasang badan untuk membenarkan SP3 terhadap belasan perusahaan tahun 2016 kemarin,” tuturnya.
Akademisi asal Kepulauan Meranti ini pun menyarankan agar ilmuwan tak tergiur atas angka-angka ‘haram’ dan merusak alam lagi. Ilmuan harus kembali ke khittah sebagai civil society yang menjadi pengontrol kerusakan bangsa.
“Nah, sekarang di Sumatera dan Kalimantan kerusakan gambut sudah susah dipulihkan. Sementara di Riau, pori-pori gambut yang subsiden sudah diisi air hujan. Berarti musim hujan, banjir bandang datang. Ketika kemarau, hotspot menggila. Kita tunggu taubat dan kiprah pembelaan ilmuwan salah kaprah tersebut,” cetus Elviradi.[] red007